Jujur itu penting, makanya jangan kayak Jeongwoo
Beberapa kali Jeongwoo sudah membunyikan klakson motornya di depan rumah Jaehee. Biasanya, dia teriak nama perempuan itu, Jaehee sudah keluar. Kok sekarang belum ya?
"Masa iya masih tidur?"
Jeongwoo mengambil handphone dan memberi beberapa pesan pada Jaehee. Pesannya sama sekali tidak dibaca.
Dia memasukkan kembali benda persegi panjang ke kantung jaketnya. Melihat ke perkarangan tempat dimana mobil keluarga Jaehee terparkir juga sudah tidak ada.
"Mungkin emang udah berangkat bareng orang tuanya."
Tidak ada pilihan, Jeongwoo mengendarai motornya dan memulai perjalanan menuju sekolah.
Singkat cerita, Jeongwoo telah sampai di kelasnya. Seperti biasa dia menyapa teman-temannya sekelas baru ke tempat duduknya.
Dia menoleh ke belakangnya dan bertanya pada Jihan, "Han, Jaehee mana?"
"Nggak tahu."
"Cuek amat lo. Ngambek? Haruto apain lo lagi?"
"Apa hubungannya sama dia? Orang gue lagi nggak mood buat ngobrol sama lo."
"Panik tanda iya," Jeongwoo memutar badannya kembali ke depan.
Punggung Jeongwoo menjadi sasaran geplakan buku dari Jihan.
"WADUH! Iya, iya, maaf, Han. Nggak lagi."
"Diem ya, Woo."
Jeongwoo tidak membalas dan lebih memilih melihat handphone siapa tahu Jaehee sudah membalasnya. Namun apa daya, perempuan itu sama sekali tidak membalasnya. Bahkan sama sekali tidak dibaca.
"Jaehee kenapa ya?"
"Selamat pagi, anak-anak. Silakan duduk ya."
Jeongwoo harus melupakan Jaehee sesaat untuk mendengarkan penjelasan dari guru-gurunya untuk saat ini.
"Semoga nggak kenapa-napa, deh," gumam Jeongwoo.
Perkataannya menjadi kalimat penutup untuk berhenti mengkhawatirkan Jaehee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Neigh(boy)hood
Fiksi PenggemarJEONGWOO | JAEHEE Rumahnya dekat, hubungannya dekat, tapi perasaannya dekat juga nggak, nih?