Malam Pertama

1K 73 0
                                    


Queen, sepertinya berjalan ke sebuah ruangan besar dengan sangat canggung. Bagaimana mungkin dia bisa menghabiskan malam dengan pria yang begitu baru baginya, Benjamin Duncan?

Pertemuan singkat mereka beberapa kali sebelumnya di kedai kopi tempat Queen bekerja tidak serta merta membuatnya mengenal pria itu.

Benjamin Duncan, seorang pengusaha muda kaya, telah jatuh cinta pada racikan kopi Queen sejak pertama kali menyesap secangkir kopi hangat yang disajikan Queen padanya di sore yang gerimis enam bulan lalu.

Seminggu yang lalu Ben datang ke kedai tempat Queenerra dan Bibinya berada. Dia berkata bahwa dia akan menikahi wanita itu.

"Aku datang untuk memintamu meninggalkan tempat ini." Ujar Benjamin.

"Tapi mengapa anda tiba-tiba mengambil kembali tanah anda, Sir? Aku sudah mencicil pembeliannya." Clara berusaha mempertahankan haknya.

"Aku akan mengmbalikan uangmu berserta dengan bunganya." Kata Benjamin, "Kecuali dengan satu syarat." Kata Benjamin dentan tatapan mengintimidasi.

"Apa?" Clara yang mulai terlihat gemetaran karena nasibnya akan terlunta-lunta stelah dia kehilangan satu-satunya mata pencaharian di kedainya itu.

"Katakan syaratmu, Sir." Ujarnya.

"Berikan keponakanmu padaku." Kata Benjamin.

Clara membelalak, kemudian menoleh ke arah Queenerra yang berdiri di kejauhan.

"Apa maksud anda?" Clara berdesis bingung.

"Aku akan menikahinya dan menjadikannya wanita terhormat." Kata Benjamin. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu jawabanmu, sebelum aku melangkah keluar dari kedai ini, kuharap kau tidak menyia-nyiakan kesempatanmu." Ujar Benjamin.

"Atau harus kuberitahu pada gadis polos itu tentang siapa dirimu dan apa niatmu padanya. Si pria botak itu akan membuat keponakanmu menjadi gundik, dia akan menjadi wanita terhinat sepanjang hidupnya, dan itu karenamu." Benjamin mendekatkan wajahnya dan berbicara berbisik pada Clara, setengah mengancam, hingga akhirnya Clara menelan ludah.

"Tolong lindungi kami, selamatkan Queenerra." Clara meraih tangan Benjamin dan menatap mata pria itu dengan berkaca-kaca.

"Baguslah jika kau masih bisa berpikir dengan jernih." Ujar Benjamin.

Clara, sang bibi merasa bingung dengan lamaran yang datang tiba-tiba itu. Namun karena situasi saat itu tidak begitu baik, dimana seorang pria hidung belang juga sedang mengejar Queenerra mati-matian untuk menjadikan Queenerra sebagai gundiknya, maka Clara tidak memiliki pilihan lain.

Begitu juga dengan Queenerra, wanita yang pernah patah hati karena ditinggal kekasihnya dan memilih wanita lain akhirnya menyetujui tarwaran Benjamin soal pernikahan tersebut.

Memutuskan untuk menikah dengan Benjamin Duncan sebenarnya merupakan bentuk pembalasan Queenerra kepada mantan kekasihnya. Dia ingin mantan kekasihnya tahu bahwa dia bisa mendapatkan pria yang jauh lebih kaya dari mantan kekasihnya.

Queen tersentak ketika seseorang membuka pintu dan memasuki ruangan.

"Tuan Duncan." Queen menyembunyikan wajah cantiknya dari tatapan Benjamin, pria yang sepuluh tahun lebih tua darinya, sementara dirinya saat ini berusia dua puluh lima tahun.

"Tenang saja," kata Benjamin Duncan sambil melepas tuksedo yang dikenakannya untuk makan malam bersama keluarga dan rekan-rekannya untuk pernikahannya dengan Queen.

"Kau ingin aku membuatkan kopi?" Queenerra bertanya pada Benjamin, yang sedang menggulung lengan bajunya, menoleh ke gadis lugu yang berdiri di sisi tempat tidur. Dia berjalan menuju Quenerra yang mulai terlihat pucat karena tatapannya.

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" Benjamin bertanya saat mereka semakin dekat.

"Tidak ada, tuan." Queenerra memandang Benjamin melalui bulu mata lentiknya itu.

"Mengapa kau terlihat gugup?" Tanyanya.

Queenerra tertunduk sembari memainkan jarinya, "Jangan panik, aku tidak akan menghabiskan malam denganmu," kata Benjamin dengan suara yang sangat rendah, tetapi itu terdengar sangat menakutkan di telinga Queenerra.

"Jika kau berpikir aku akan memanfaatkan malam ini untuk menidurimu, kau menilaiku terlalu rendah nona muda." Ujar Benjamin lagi.

"Lalu mengapa Anda menikah dengan saya, Pak," Queenerra menuntut penjelasan.

"Aku sudah memberitahumu bahwa bibimu Clara berniat menjualmu ke Silvester, lelaki tua botak itu. Aku menikahimu hanya untuk menyelamatkanmu," tambahnya.

"Tidak, Tuan, Anda pasti salah paham." Tentang Queenerra. "Bibiku menganggapku seperti anaknya sendiri, bagaimana mungkin dia melakukan hal serendah itu?" Queenerra berani mengeluarkan argumennya.

"Pria bodoh bernama Ryan itu bekerja sama dengan bibimu, untuk menjualmu pada si pria hidung belang itu." Benjamin berusaha meyakinkan Queenerra.

"Jadi itu sebabnya kau datang ke kedai malam itu dan mengancam bibiku untuk mengusirnya dari tanah milik keluargamu dan membawaku pergi dengan paksa?" Tanya Queenerra.

Queenerra ingat apa yang terjadi malam itu, ketika dia, Julia, dan Bibi Clara sedang membersihkan kedai kopi; tiba-tiba Ben datang dengan beberapa anak buahnya mengancam akan mengembalikan uang cicilan bibi Clara beserta bunganya dan mengusir mereka berdua dari kedai itu, malam itu juga.

Sementara dirinya dan sang bibi hanyalah wanita lemah tak berdaya memohon di bawah kaki Ben, dan rela melakukan apa saja agar Ben tidak menggusur satu-satunya sumber mata pencaharian mereka, yaitu kedai kopi.

Ben menawarkan kesepakatan, dia mengizinkan Bibi Clara untuk tetap membuka kedai di tanahnya selama Queenerra bersedia menikahi Ben.

Dan gadis itu tidak punya pilihan; Hutang kepada bibinya membuatnya rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan bisnis kedai kopi yang telah dimulai bibinya sejak dia dan Julia masih balita.

Queen menarik napas dalam-dalam, mencoba menepis semua pikiran kacau yang mengoyak kewarasannya. Apa pun yang terjadi, dan apa pun kebenarannya, dia tidak ingin memikirkannya lagi, karena saat ini satu-satunya kebenaran mutlak adalah bahwa dia adalah istri Benjamin Duncan.

"Kau bisa tidur di kamar tamu," kata Ben sambil berjalan menuju kamar mandi, entah apa yang dia lakukan di sana, atau mungkin dia melakukannya karena dia ingin menghindari Quenerra.

"Kenapa kau masih di sana?" Ben bertanya begitu dia keluar dari kamar mandi dan masih menemukan Queen berdiri di sana.

"Saya istri Anda sekarang, Tuan." Suara Queenerra mulai bergetar.

Benyamin menarik napas dalam-dalam. "Lalu?" dia bertanya.

"Saya akan melakukan apa yang harus dilakukan seorang istri untuk suaminya." Dia menambahkan dengan suara lirih.

"Seperti memijat punggungku?" Benjamin menantang, dan Queenerra mengangguk malu-malu.

"Apa pun yang Anda inginkan, saya akan dengan senang hati melakukannya." Queen melangkah maju dan jari-jarinya yang ramping tampak menari, membuka kancing kemeja suaminya satu per satu dan meninggalkan ekspresi terkejut di wajah Benjamin.

"Apa kau yakin?" Benjamin mendesis dengan suara rendah, sementara Queen hanya meliriknya, lalu mengangguk dan menyelesaikan pekerjaannya.

"Silahkan berbaring," Queenerra meminta suaminya untuk berbaring dan pria itu mengikuti Queenerra tanpa banyak bicara.

Queenerra menelan ludah saat Benjamin berbaring bertelanjang dada menghadapnya. Queenerra segera mengalihkan pandangannya. Dia segera mengambil minyak zaitun dari botol kaca di atas meja rias dan berjalan ke tempat tidur.

"Anda bisa berbaring, Tuan," kata Queenerra lembut dan Benjamin melakukannya, sekali lagi tanpa protes. Queen perlahan menuangkan minyak zaitun ke tangannya dan menggosokkannya dengan lembut ke punggung Benjamin.


==========================

HAI JANGAN LUPA BUAT MENINGGALKAN BINTANG DAN KOMENTARNYA YA

SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN CERITA BARU AKU SETELAH SEKIAN LAMA MATI SURI DI DUNIA ORANGE HEHEHE

The Master and His MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang