Ben berjalan ke ruang makan dan duduk di bangku, sedangkan Dominique juga duduk di seberangnya. Sementara itu, Emma, yang sibuk di dapur di pagi hari, segera mendekat, "Apakah anda ingin saya membuat kopi, Sir?" tanya Emma.
"Ya, tolong," jawab Ben. Sambil menunggu Emma datang dengan kopinya, bibi itu sudah duduk di seberangnya dan Ben memulai percakapan.
"Apa ada masalah besar sampai bibi harus datang kerumahku?" Tanya Ben.
Dominique mengerutkan alisnya, "Apakah saya perlu alasan atau masalah yang besar untuk mengunjungi keponakanku sendiri?" tanya wanita paruh baya dengan senyum berbahaya khasnya.
Ben mengangkat alis, "Tentu saja tidak. Hanya saja jika aku tahu Bibi akan datang, aku akan menyiapkan sesuatu, setidaknya sarapan," kata Ben.
"Jangan khawatir, aku sudah sarapan." Dominique melihat sekeliling.
"Rumahmu terlihat jauh lebih rapi dan lebih manis," kata Dominique, dia melihat beberapa tirai diganti dengan warna-warna yang lebih cerah. Beberapa sudut juga ditempatkan bunga dalam vas. "Sepertinya ada sentuhan wanita di rumah ini." Kata Dominique yang masih melihat sekeliling.
"Emma yang melakukannya," Benjamin berbohong.
Dia tahu bahwa mengungkapkan soal keberadaan dan status Queenerra di rumah ini hanya akan memberi Dominique alasan untuk membuat masalah besar untuknya.
Dominique tersenyum, "Emma telah bekerja untukmu selama bertahun-tahun, mengapa dia baru saja membuat perubahan." Dominique bergumam. Sementara itu, Emma, yang menjadi subjek percakapan, datang dengan dua cangkir kopi. Dia meletakkan cangkir kopi di atas meja, satu di depan Ben dan satu di depan Dominique.
"Selamat pagi Nyonya Duncan." Emma menyapa Dominique sambil tersenyum.
"Pilihan yang bagus." Dominique tidak menjawab sapaannya tetapi memuji hal lain.
"Apa maksud anda, Nyonya?" Emma tampak bingung.
"Warna tirai dan juga vas dan bunga, pilihanmu." Dominique tersenyum pada Emma.
"Oh . . . terima kasih." Emma awalnya terlihat bingung, tapi kemudian dia memandang Ben dan tatapan pria itu datar.
"Selamat menikmati kopi anda, Nyonya." Emma memilih untuk pergi.
Begitu Ema meninggalkan tempat itu, Dominique mengubah topik pembicaraan di antara mereka. "Kebijakan fiskal akhir-akhir ini benar-benar memberatkan pengusaha." Dia berkata sambil menatap Ben. Pemuda itu mengangguk setuju. "Tidak banyak yang bisa dilakukan selain mengikuti aturan," jawab Ben.
Dominique mengangkat alisnya, dia mengerutkan bibirnya sebentar sebelum mengambil cangkir kopi dari meja dan menghirup aroma kopi dari dalam cangkir yang masih mengepul, "Kau masih menjaga kualitas kopimu dengan baik." Puji Dominique.
Ben mengangguk, "Saya tidak ingin mengurangi kualitas kopi meskipun keuntungannya semakin tipis." jawab Ben. "Memastikan kualitas adalah yang utama bagiku. Aku tidak ingin membuat konsumen kecewa hanya demi keuntungan." jawab Ben.
"Kau keras kepala seperti ayahmu," kata Dominique. "Dia yang dengan keras kepala memilih untuk bangkrut dan meninggalkanmu dengan banyak hutang. Aku berharap kau tidak mengulangi kebodohan yang sama seperti yang dilakukan ayahmu." Kata wanita tua itu.
Ben mengambil cangkir kopi dari meja dan menyesap isinya, "Aku telah mengajukan pinjaman ke bank untuk modal sementara. Saya pikir saya akan jauh dari kata bangkrut seperti yang bibi maksud." Ben berkata dengan percaya diri.
"Jika kau sedikit lebih lunak, aku punya solusi untukmu selain berhutang ke bank dan menjanjikan satu-satunya aset yang kau miliki." Dominique memandang Ben dengan tatapan seolah-olah itu lembut, tetapi di balik itu, ada intimidasi tersembunyi yang dirasakan Ben.
Rahang pemuda itu mengeras sejenak, "Apakah bibi punya tawaran untukku?" Tanya Ben.
"Itu tergantung," jawab Dominique singkat.
Ben mengerutkan alisnya, "Tergantung pada apa?" Ben bertanya meskipun dia tidak yakin apa yang ditawarkan bibinya adalah solusi, bukan masalah.
"Tergantung padamu," jawab Dominique.
Ben menaikkan alisnya, "Aku akan sangat senang mendengar tawaran dari bibi."
"Kau kenal Margaret Markle?" Tanya Dominique. "Satu-satunya putri dari keluarga Markle, ayahnya adalah seorang bankir terkenal dan memiliki aset yang tidak diragukan lagi," kata Dominique memberikan pembukaan untuk rencana besarnya. "Kupikir ayahnya akan merelakan apapun untuk memberikan kebahagiaan bagi sang puteri, dan kau memiliki kesempatan besar untuk memenangkan hatinya." Kata Dominique.
Ben menarik napas dalam-dalam, dia tahu betul ke mana percakapan antara dia dan bibinya akan pergi. "Kau merencanakan perjodohan kita?" Ben bertanya, mengerutkan alisnya.
Dominique tersenyum, "Meskipun keras kepala, kau adalah pemuda yang cerdas. Dan aku suka kecerdasanmu, keponakan." Puji Dominique. "Setelah Kau menghamili Margaret, kau akan menjadi pemilik semua properti ayahnya," tambah Dominique.
Ben mengambil cangkirnya sekali lagi dan menyesap isinya, "Aku tidak tertarik dengan tawaran bibi, maaf." Ben menutup percakapan itu. Pria itu berdiri dan memandang Dominique, "Maaf tapi aku masih punya urusan yang belum selesai, Bibi. Bibi bisa pergi kapan pun bibi mau, rumah ini seperti milikmu sendiri, jangan ragu-ragu jika Anda ingin tinggal sedikit lebih lama, "kata Ben dengan hormat.
"Kau bocah sombong." Dominique mengutuk dengan marah. Dia dengan cepat meraih tasnya dan berjalan keluar dari rumah Benjamin Duncan, keponakannya yang angkuh.
Ben kembali ke kamarnya dan masih melihat Queenerra berbaring di posisi yang sama. Begitu Ben masuk dan menutup pintu kamar tidur mereka lagi, bahkan menguncinya dari dalam, Queenerra bergerak berdiri.
"Jangan pergi ke mana pun," Ben memerintahkan pada Queenerra sebelum dia meninggalkan isterinya itu. Dan karena begitu patuhnya Queenerra padanya, dia bahkan tak beringsut turun dari ranjang.
Benjamin merangkak kembali ke tempat tidur dan mencium bibir Queenerra sementara dia justru mengikuti alurnya dan merebahkan dirinya dalam posisi terlentang dengan santai dan tidak berani bergerak.
"Sudah terlalu siang, Emma akan mentertawakanku jika aku tidak keluar dari kamarmu sekarang juga." Queenerra menghentikan ciuman suaminya.
"Aku tidak peduli pada pendapat Emma." Tolak Benjamin.
Queenerra meraih wajah suaminya dengan kedua tangan, "Aku memang baru mengenalmu Mr. Duncan, tapi ciumanmu barusan tidak terasa seperti kau benar-benar ingin menciumku. Saya merasa ini adalah jalan keluar untuk kemarahan Anda pada sesuatu." Kata Queenerra. Wanita ini memiliki naluri yang kuat.
Ben menghela nafas, dia jatuh ke sisi Ratu, dan menyangga kepalanya dengan satu tangan terlipat. "Kau benar," Benjamin mengakuinya. "Maafkan aku." Ujar Benjamin menyesal.
"Kita akan berbicara setelah aku memasak sarapan untukmu," kata Queenerra sambil beringsut dalam posisi setengah duduk, menatap Benjamin.
"Tidak perlu. Saya sudah minum kopi, saya akan mandi dan pergi ke perkebunan hari ini," kata Ben.
Queenerra membungkuk dan mencium pipi suaminya, "Terima kasih untuk tadi malam." Bisikannya lembut, dan itu membuat Ben tersenyum lebar. "Aku berencana untuk melihat istriku setiap malam berbaring di tempat tidurku, menungguku pulang." Jawab Ben.
"Saya akan melakukan apa menjadi keinginan anda, Mr. Duncan" jawab Queenerra sambil beringsut keluar dari tempat tidur dan meninggalkan kamar suaminya.
Pikiran Ben teralihkan dengan apa yang dikatakan Dominique. Rencana wanita itu memang bukanlah isapan jempol belaka. Kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah baru-baru ini telah menghambat pengusaha, termasuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Master and His Maid
RomanceCerita ini berkisah tentang pernikahan Benjamin Duncan, seorang pria yang patah hati karena ditinggalkan oleh wanita yang dicintainya yang memilih untuk menikahi sepupu Benjamin saat dia berada di medan perang demi tuntutan profesi militernya. Sekem...