Setelah penolakannya terhadap Benjamin, perasaan Queenerra menjadi kacau. Rasa bersalah di dadanya sampai pada titik di mana rasanya begitu menyesakkan dada.
Queenerra berulang kali mencoba menarik nafas dalam untuk melegakan napasnya. Dia bahkan sempat minum air mineral untuk membantu menenangkannya, tetapi itu sangat sulit baginya.
Gambar wajah kecewa Benjamin Duncan meninggalkan kamarnya membuat hati Queenerra terasa seperti ditikam dengan pisau.
Bagaimanapun, Benjamin Duncan memiliki hak penuh atas dirinya, tubuh dan jiwa. Tapi mengingat bahwa hati pria itu mungkin masih milik wanita lain membuat Queenerra tidak dapat memberikan dirinya kepada suaminya.
Queenerra duduk di depan cermin riasnya dan melihat bayangannya di cermin. Tiba-tiba sebuah bisikan terdengar di benaknya, "Kau adalah seorang budak. Lahir dengan berbagai kemalangan. Satu-satunya keberuntungan dalam dirimu adalah karena pria baik hati yang kau kecewakan itu. Dia mengasihanimu, dan merawatmu dari budak menjadi istri. Kau harus malu pada diri sendiri karena serakah dan menginginkan hatinya, sementara dia memeliharamu dengan memberimu makanan dan pakaian, juga tempat tinggal yang layak. Apa lagi yang kau terima, hal-hal yang layak diterima seorang budak dari tuannya sudah kau terima darinya."
Air mata Queenerra jatuh, seolah-olah dia baru menyadari bahwa dia pantas mendapatkan tidak lebih dari apa yang bisa diberikan Benjamin Duncan padanya.
Setelah memikirkan hal itu selama beberapa saat, Queenerra akhirnya mengambil sisr dan menyisir rambutnya, meskipun air matanya mengalir. Dia menyusut air matanya dan menutupi jejak air matanya dengan bedak. Dia bahkan memakai perona bibir, perona pipi, dan riasan mata untuk menyembunyikan matanya yang sembab.
Namun, Queenerra harus memperbaiki kesalahannya. Dengan berat hati, dia menyeret kakinya keluar dari ruangan dan berjalan menuju kamar Benjamin Duncan.
Langkahnya berhenti di depan pintu, sementara dadanya terangkat ke atas dan ke bawah dengan kegugupan dan rasa sakit di hatinya. Tangannya gemetar ketika dia mengetuk pintu tiga kali dan menunggu jawaban dari dalam ruangan.
Tidak lama sebelum pintu kamar dibuka dan Benjamin Duncan berdiri di hadapannya. Pria itu berdiri dengan tatapan yang dalam padanya, tetapi tidak ada yang bersuara. Queenerra bergegas masuk, meninggalkan semua indranya di depan pintu kamar benjamin duncan. Dengan pikiran kosong, dia memasuki kamar suaminya.
Rahang Benjamin menegang saat dia melihat Queenerra masuk ke kamarnya. Benjamin menutup pintu lagi dan menguncinya dari dalam. Setiap putaran kunci meninggalkan suara menghentak yang membuat Queenerra tampak tersentak dua kali. Tapi dia mencoba untuk menjaga pikirannya tetap kosong.
"Apa yang kau inginkan?" Benjamin bertanya begitu Queenerra berhenti di jalurnya dan memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Benjamin Duncan. Wajahnya tertunduk tidak berani melihat Benjamin Duncan yang berdiri menjulang tinggi di depannya.
"Aku ingin meminta maaf atas ketidaksopananku, mungkin aku sudah melukai perasaan anda." jawab Queenera pelan.
Benjamin menghela nafas dalam-dalam, "Kau tahu itu melukaiku, tapi mengapa kau melakukannya?" tanya Benjamin.
Queenerra menundukkan kepalanya, dia tidak punya jawaban atas pertanyaan Benjamin untuknya. "Maaf," kalimat singkat itu adalah semua yang bisa dia katakan.
"Jadi apa yang kau inginkan sekarang?" Benjamin bertanya dengan suaranya yang dalam.
"Aku menyerahkan diriku padamu. Seharusnya aku melakukan in isejak tadi." Dia berkata pelan.
Benjamin meraih dagu Queenerra dengan ujung jari telunjuknya dan memaksa Queenerra untuk melihat kembali padanya. "Lihat aku," kata Benjamin Duncan.
Dengan keterpaksaan yang besar, Queenerra menatap mata Benjamin yang tajam dan dalam, bahkan seolah dalamnya tatapan mata Benjamin itu tak bertepi.
"Katakan dengan tegas jika kau menginginkannya." Benjamin Duncan berbisik. Seketika tenggorokan Queenerra terasa kering. Dia ingin mengatakan bahwa dia menginginkan sentuhan seorang suami yang mencintainya, tetapi jelas, dia tidak bisa mengharapkan itu dari Benjamin Duncan yang menikahinya karena belas kasih alih-alih cinta.
"Lakukan apa yang kau inginkan, Sir." jawab Queenera pelan.
Rahang Benjamin Duncan menegang, "Ini bukan tentang apa yang kuinginkan, ini tentang apa yang kauinginkan dariku, nona muda." Benjamin bersikeras. "Aku bertanya padamu, apa yang kau inginkan dariku?" Benjamin menatap mata Queenerra dalam-dalam.
"Dirimu . . ." Queenerra menundukkan wajahnya setelah menjawab.
Benjamin duduk di sebelah Queenera. Mereka tidak saling bersentuhan. Queenerra memegang tangannya dengan yang lain, tanda kecemasan. Sementara itu Benjamin melipat tangannya di dadanya.
"Jika kau mengharapkan cinta dariku. Mungkin kau tidak akan pernah mendapatkannya," kata Benjamin. Kalimat itu langsung membuat hati Queenerra, yang sebelumnya retak, sekarang hancur berkeping-keping.
"Hatiku mungkin sudah mati. Dulu seseorang pernah memilikinya terlalu lama dan kemudian pergi, kurasa aku tidak lagi memiliki sisa ruang untukmu, dihatiku. Aku sudah matirasa," kata Benjamin Duncan terus terang. Baginya, tidak ada gunanya menyembunyikan fakta-fakta dari Queenerra dan membiarkannya berharap terlalu banyak tentang sesuatu yang Benjamin sendiri tidak begitu yakin.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa." Queenerra akhirnya angkat bicara setelah terdiam sejenak. "Beberapa saat yang lalu ketika aku menolakmu, dadaku terasa sangat kencang sehingga membuatku sulit bernapas." Queenerra masih tidak berani melihat Benjamin Duncan.
"Aku menyesal menolakmu." Dia berkata dengan suara gemetar, "Tapi jujur, mendengarmu mengatakan bahwa kau masih dan akan selalu mencintai wanita lain juga membuatku tidak bisa bernapas. Perasaan saya sangat membingungkan bagiku," pungkasnya.
Keduanya terdiam beberapa saat, "Tolong beri tahu saya apa yang harus saya lakukan?" Queenerra memberanikan diri menatap Benjamin.
"Haruskah aku menyesali tindakan gegabahku dengan memasuki kamarmu? Mungkin aku harus keluar dari kamarmu sekarang," Ujar Queenerra dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan" Benjamin Duncan menjawab dua kali sambil meraih wajah Queenerra dan mencium bibirnya dengan lembut.
"Tetaplah tinggal." Dia menambahkan sebelum mencium Queenerra sekali lagi, sementara gadis itu menutup matanya.
Ciuman Benjamin semakin dalam dan tangannya meraih pinggang Queenerra dan menariknya lebih dekat, membuat tulang belakang Queenerra melengkung sementara dadanya menempel di dada Benjamin. Pada saat yang sama bibir Benjamin menekan bibir Queen lebih kencang dan lebih dalam. Nafas Benjamin menumpang saat lebih banyak adrenalin menyembur melalui aliran darahnya.
Sementara itu, Queenerra membiarkan pikirannya tetap kosong dari tuntutan dan harapan apa pun. Dia tidak meninggalkan ruang untuk pikiran yang rumit, yang dia lakukan hanyalah mencoba menikmati bagaimana Benjamin Duncan memperlakukannya. Lagi pula, Benjamin Duncan akan menjadi orang pertama yang menidurinya. Pengalaman yang tidak pernah dibayangkan Queenerra sebelumnya.
==============================
HU HU HU HU MAKIN HOT MAKIN HOT MAKIN HOT
JANGAN LUPA KALIAN MASUKIN CERITA INI DI READING LIST KALIAN YAAAA. SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN CERITA INI, DAN JANGAN SAMPAI SKIP BUAT TINGGALKAN KOMENTAR DAN JUGA BINTANG KALIAN. KOMENTAR DAN BITANG KALIAN SANGAT BERHARGA BUAT MAK AUTHOR
KAMU SEDANG MEMBACA
The Master and His Maid
RomanceCerita ini berkisah tentang pernikahan Benjamin Duncan, seorang pria yang patah hati karena ditinggalkan oleh wanita yang dicintainya yang memilih untuk menikahi sepupu Benjamin saat dia berada di medan perang demi tuntutan profesi militernya. Sekem...