CHAPTER 04

8.8K 386 72
                                    

Vella keluar rumah dengan seragam sekolah yang sudah melekat ditubuhnya. Namun, ia terkejut kala mendapati Alva yang sudah berada di halaman rumahnya.

Alva yang semula tengah duduk di atas motor dengan pandangan yang fokus pada ponselnya kini beralih menatap Vella.

Sedetik kemudian, ia terpaku saat melihat paras cantik yang dimiliki oleh gadis itu. Kini ada yang beda dari biasanya. Pasalnya, gadis itu mengikat semua rambutnya ke belakang menjadi satu.

Lelaki itu meneguk salivannya susah payah saat melihat leher jenjang yang putih dan mulus milik Vella terekspos. Bagaimana jika mata keranjang para lelaki menatap lapar leher itu? Ah, tidak! Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Dengan cepat Alva turun dari atas motornya lalu berjalan mendekati Vella. Tanpa diduga Alva menarik ikat rambut gadis itu membuat rambut panjang Vella tergerai indah.

Vella menatap lelaki itu horor. "Alva!"

Alva hanya mengedikkan bahunya acuh dan kembali berjalan menuju ke arah motornya dan mulai menaiki motornya.

"Buruan naik," titahnya tanpa merasa bersalah.

Terpaksa gadis itu berjalan menghampiri Alva dan motor besarnya seraya menghentakkan kakinya kesal. Ia risi dengan rambutnya yang tergerai. Namun, dengan mudahnya saja Alva melepas ikatan rambutnya membuatnya geram.

Sebelum Vella menaiki motornya, Alva terlebih dahulu memberikan jaketnya pada Vella.

"Pake," titahnya membuat Vella menerima jaket itu dengan ogah-ogahan. Jujur saja, ia masih kesal dengan Alva yang menurutnya sangatlah menyebalkan.

Setelah mengikat jaket itu di pinggangnya hingga menutupi pahanya, Vella mulai menaiki motor lelaki itu dan duduk di kursi penumpang.

"Lain kali gak usah jemput gue lagi," ketus Vella.

Alva mendengkus kesal. "Masih mending gue kasih lo tumpangan gratis."

Vella mencibir kesal. "Buruan jalan!"

Alva berdehem dan mulai menjalankan motornya menjauhi pekarangan rumah Vella.

***

"Stop, Al."

Alva mengernyitkan dahinya heran. Pasalnya, ini masih jauh dari area sekolah.

"Kenapa?"

Vella menghela nafas berat. "Gue turun di sini, ogah gue jadi bahan ghibahan para fans lo."

Vella hendak turun. Namun, suara Alva menghentikannya.

"Berani turun, gue patahin leher lo."

Vella meneguk salivannya susah payah. Ia belum mau mati, amalnya pun masih kurang. Gadis itu memilih kembali duduk seperti semula dan memegang ujung seragam lelaki itu dengan erat.

"Gak jadi turun," cicitnya.

Alva tersenyum tipis mendengarnya. Ternyata gadis itu sangat polos. Padahal ia mengatakan hal itu hanya sekedar bercanda.

"Gak usah perduliin orang lain," tegasnya.

Vella terdiam tak berani menjawab.

"Denger gak?" tanyanya dingin.

Vella yang mendengar nada bicara Alva yang terkesan berbeda pun mengangguk cepat. "Iya-iya."

Alva kembali menjalankan motornya menuju area sekolah. Sesampainya di sana, banyak pasang mata yang menatap mereka dengan tatapan iri. Ah ralat! Lebih tepatnya banyak pasang mata yang menatap Vella iri karena dapat berboncengan dengan seorang ketua osis yang tampan seperti Alva. Beberapa dari mereka ada juga yang berdecak kagum karena mereka terlihat serasi.

Ketos VS WaketosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang