Vella menghela nafas berat. Sudah 6 jam lamanya Alva memeluknya dengan sesekali mendusel di lehernya. Semua badannya terasa kaku terlebih lagi jantungnya berdegup cepat karena nafas Alva menerpa lehernya.
Kini keduanya tengah berada di apartemen karena Alva membawanya ke apartemen. Namun, sedari tadi lelaki itu masih saja terdiam seakan enggan mengeluarkan suaranya.
"Jelasin," tegas Alva.
Vella bernafas lega saat mendengar Alva yang baru saja mengeluarkan suaranya.
"Lepasin du—"
"Gak mau," potongnya cepat menyela ucapan Vella.
Vella menghela nafas berat. "Lo gak pegel emang?"
"Gak," jawab Alva seadanya.
Sebenarnya memang pegal. Namun, mengingat bagaimana Vella pergi meninggalkannya dengan waktu yang terbilang cukup lama, rasa pegalnya pupus begitu saja karena rasa rindunya yang kini mulai terobati.
Alih-alih mengurai pelukannya, Alva malah semakin mengeratkan pelukannya membuat Vella menghela nafas pasrah. Ia memilih menyisir rambut Alva yang terasa lembut menggunakan salah satu tangannya.
"Jadi—" Vella menjelaskan secara jelas hingga tak ada yang terlewat sedikit pun.
Flashback*
Vella sudah lama berdiam diri di kamarnya hingga sedetik kemudian ia berdiri dan mengambil koper lalu membuka lemari. Ia memasukkan semua pakaiannya dan juga barang berharganya ke dalam dalam koper.
Keputusannya sudah bulat. Ia harus mencari kos-kosan untuk bisa hidup mandiri. Ia tak bisa ketergantungan terus pada Alva dan bunda Sonya saja, ia akan berusaha hidup mandiri, dan menjalani kehidupannya sendiri dengan kerja kerasnya sendiri.
Beruntung ia memiliki tabungan yang cukup banyak yang sedari kecil sudah ia tabung. Meski dalam keadaan mendesak, ia tak pernah mengambilnya terkecuali saat neneknya di rawat, itu pun tak sampai habis.
Ia berencana akan membangun cafe sendiri, ini impiannya selama ini. Membangun cafe miliknya sendiri, uang hasil kerja kerasnya selama ini.
Tekadnya memang sudah bulat. Ia berpikir matang, ia sadar jika dirinya selalu merepotkan Alva dan bundanya, ia merasa tak enak.
Setelah berkemas, ia bergegas keluar dari apartemen. Ia sengaja tak berpamitan dahulu pada Sonya dan Alva karena pastinya jika Alva tahu dirinya akan pergi, lelaki itu akan melarangnya. Mau tak mau ia harus pergi begitu saja tanpa pamit. Ia tak sempat menulis surat karena sudah dapat dipastikan sebentar lagi Alva akan pulang dari sekolah.
Saat ia membuka pintu, ia terkejut kala mendapati Aro yang sudah berada di balik pintu. Sedangkan Aro terheran kala melihat Vella yang sudah rapi dengan koper besar yang ada di samping gadis itu.
"Lo mau kemana?"
Vella meringis. "Gue gak bisa terus-terusan ketergantungan sama Alva. Gue juga gak enak sama bunda Sonya, secarakan gue cuma pacar Alva bukan istrinya."
"Gue terpaksa harus pergi dari sini," ujarnya seraya menunduk.
Aro merasa prihatin dengan gadis yang kini memang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Ia juga sudah tahu jika Vella hidup sebatang kara, tentu Vela yang memberitahunya karena ia tak sengaja menanyakannya. Ia pikir Vella hanya main di apartemen Alva. Namun, hari-kehari ia selalu melihat Vella berada di apartemen lelaki itu membuatnya heran dan menanyakan apakah Vella masih punya keluarga ataukah tidak. Setelah tahu, barulah ia menyesal telah menanyakannya karena merasa bersalah dengan Vella.
"Gue bisa bantu lo."
Vella mengernyitkan dahinya heran. Sejak saat itu Aro yang membantunya menemukan kos-kosan sederhana. Namun, juga bersih, tidak terlalu sempit.
Sejak itu pula Aro yang membantu mengurusnya untuk mengganti identitasnya. Bahkan, Vella pun sempat mengganti namanya karena ia yakin jika Sonya dan Alva tak akan tinggal diam. Pasti keduanya akan menyuruh seseorang untuk mencari keberadaannya di mana.
Setelah dirasa aman, Vella menjalani kehidupannya dengan normal dan bekerja dengan usahanya sendiri. Ia pun membangun sebuah cafe hingga cafe itu berhasil didirikan dari hasil uang yang ia tabung sendiri.
Ia mencari Karyawan dan beruntung banyak yang melamar. Ia senang bukan main kala melihat setiap harinya cafenya itu di datangi banyaknya pengunjung.
Memang benar, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Roda kehidupan akan selalu berputar. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur pada Tuhan karena ia bisa sampai titik ini.
Ini semua tak akan berhasil jika bukan karena Aro. Lelaki itu memang sudah ia anggap sebagai kakak lelakinya. Ia bersyukur karena Aro hadir dikehidupannya. Ternyata keperdulian Aro sangat besar padanya hingga ia tak mampu berkata apapun lagi selain berterima kasih.
Falshback off*
"Maaf, karena udah pergi tanpa pamit."
"Gue tau gue salah, gue cuma gak mau ngerepotin kalian, gue pergi aja udah ngerepotin Aro, tapi berkat dia gue bisa sampai di titik ini, Al."
"Berkat lo sama bunda gue bisa ngerasain kasih sayang dari orang yang gue sayang, gue juga bisa ngerasain kasih sayang sosok bunda lagi."
"Secara gak langsung bunda lo udah ngobatin rasa rindu gue sama mendiang Bunda gue."
Ia mengurai pelukannya dan menatap mata Alva lekat hingga kini tatapan keduanya saling bertemu.
"Makasih udah hadir dalam kehidupan gue. Makasih udah ngajarin gue gimana rasain apa itu yang dinamakan cinta, makasih udah ngasih kasih sayang sebagai seorang kekasih pada umumnya. Gue bahagia bisa dipertemukan sama cowok kayak lo, Al."
Air mata yang sedari tadi menggenang dipelupuk matanya kini sudah mulai berjatuhan tanpa diminta. "Makasih karena udah buat gue bahagia dengan cara lo sendiri. Makasih Alva, gue beruntung bisa dapetin lo tanpa susah-susah kayak cewek diluaran sana yang berusaha mati-matian buat dapetin lo."
Grep
"Gue yang beruntung bisa milikin lo, Vel. Sebanyak apapun yang berusaha seketin gue, lo masih tetap pemenangnya, Vel," bisik Alva dengan mendekap tubuh gadisnya erat.
"Sebanyak apapun cewek yang suka sama gue, kalo cuma lo yang ada di hati gue, tetep lo yang bakal gue pilih karena lo yang berhasil milikin hati gue, Vella."
"Don't cry baby, hm?"
Vella mengangguk. Ia menangis karena terharu. Ia bersyukur dapat dipertemukan dengan lelaki sebaik Alva. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur karena bisa merasakan kehangatan setiap kali Alva berada di dekatnya. Karena Alva, ia bisa merasakan kenyamanan dari seseorang yang dicintai.
Alva mengelus punggung gadisnya lembut dengan sesekali mengecup puncuk kepala gadisnya lama.
"Gue sayang lo, Vel."
"Jangan pergi lagi."
Vella mengangguk dengan membalas pelukan Alva tak kalah erat seolah menyalurkan betapa kerinduan yang selama ini ia tahan. Keduanya sama-sama melepas rindu yang selama ini tertahankan.
•
•TBC
Voment please?
See you next part!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketos VS Waketos
Ficção AdolescenteMenceritakan seorang gadis yang hidup dengan penuh liku-liku diantara hiruk pikuknya kehidupan. Gadis yang hidup sebatang kara itu tengah menyandang status sebagai wakil ketua osis di sekolahnya. Dia Vella, Keiza Louvella. Vella tak pernah menyangka...