CHAPTER 08

7.3K 332 56
                                    

Vella tengah melayani pelanggan. Pelanggan demi pelanggan ia layani. Namun, sebuah insiden tak terduga terjadi. Ia tak sengaja tersandung kaki meja membuatnya tak sengaja menumpahkan jus buah naga pada salah satu pelanggan.

"Lo kerja gak becus amat!" bentak seorang pria tak terima dengan baju kekasihnya yang kotor akibat ketumpahan jus buah naga.

"Kalo gak bisa kerja diem!"

Vella menunduk. "Maaf, saya gak sengaja."

Wanita yang berada di samping lelaki itu berusaha menenangkan kekasihnya agar tak tersulut emosi.

"Dasar ceroboh!" sungut pria itu lagi.

Pria paruh baya yang tak lain adalah pemilik cafe tiba-tiba datang menghampiri mereka. "Permisi, ada apa ini?"

"Tuh liat! Karyawan lo gak becus! Lo juga pinter dikit kek milih karyawan."

"Pecat aja deh!"

Pria paruh baya yang diketahui bernama Adam pun menatap Vella. Ia tahu bahwa gadis itu kini hidup sebatang kara dan tengah membutuhkan uang. Ia tak bisa memecat Vella begitu saja.

"Vella, kamu bisa ke belakang saja."

Vella menunduk ia merasa tak enak pada pelanggannya itu. Mau tak mau ia memilih ke dapur untuk mencuci piring.

Setelah memastikan bahwa Vella sudah pergi, Adam kembali beralih menatap sepasang remaja itu. "Saya minta maaf sebesar-besarnya atas kelalaian pegawai kami, saya juga minta maaf atas ketidaknyamanan ini, saya pastikan kejadian ini tidak akan terulang lagi."

Seorang gadis mengangguk paham. Dan memilih mengajak kekasihnya pergi dari sana sebelum kekasihnya berulah dan membuat keributan.

***

Vella tengah mencuci piring. Banyak sekali cucian piring. Sedari tadi cuciannya belum juga selesai karena cucian itu terus bertambah.

Setelah selesai mencuci piring, Vella menatap jam di ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, itu artinya dirinya sudah diperbolehkan pulang.

Ia keluar dari cafe tak lupa menutup dan mengunci pintu cafe terlebih dahulu.

Ia berjalan seorang diri di trotoar. Banyak sekali pengendara berlalu lalang. Namun, bagi Vella malam ini terasa sunyi.

Vella menunduk menatap jalan. Kakinya terus melangkah menelusuri jalanan trotoar hingga tak sadar bahwa tak jauh dari sana sedari tadi ada seorang pria yang menatapnya lekat.

Vella terus berjalan dengan menunduk seakan tak memperdulikan sekitar hingga kepalanya menubruk benda keras membuatnya mengelus kepalanya yang terasa sedikit nyeri. Perlahan ia mendongak.

"Alva?"

Alva mengusap kepala gadis itu lembut. "Sakit?"

Vella menggeleng lalu tersenyum tipis. "Udah nggak."

"Kenapa gak hubungin gue?"

Vella hanya terdiam dan kembali menundukkan kepalanya dalam. Melihat itu membuat Alva menghela nafas panjang.

"Vel—"

"Gue capek Al, gue balik dulu," sela gadis itu cepat memotong ucapan Alva.

Saat Vella hendak melangkah, dengan cepat Alva menahan lengan gadis itu.

"Gue anter."

Vella menggeleng berusaha melepas cekalan Alva pada tangannya. Namun, Alva seakan enggan melepaskannya.

"Gue bisa sendiri," ujarnya dengan suara paraunya.

Alva beralih menggenggam salah satu tangan gadis itu. Dielusnya lembut punggung tangan gadis itu olehnya.

"Biarin gue anter lo malam ini, Vel," ujarnya seraya menatap gadis itu teduh.

Vella hanya mengangguk saja. Melihat itu membuat Alva tersenyum hangat. Ia bergegas membawanya menuju motornya yang berada tak jauh dari sana.

Sepanjang perjalanan, suasana mendadak hening.

"Vel," panggil Alva membuat Vella berdehem.

"Gimana kalo kita nikah aja?"

Vella membuatkan matanya dan memukul pelan punggung lelaki itu. "Ngelantur!"

"Gue serius, Vel," ujar lelaki itu.

Sepertinya Alva memang benar-benar serius kali ini.

"Gak! Gue gak mau."

Alva menghela nafas berat. "Gue gak mau liat lo terus-terusan kerja setiap harinya, terlebih lagi lo pulang malem terus."

"Peduli atau cuma kasihan?"

Alva berdecak sebal seakan tak suka dengan penuturan gadis itu. "Gue perduli karena gue udah mulai suka sama lo. Entah sejak kapan perasaan ini muncul, tapi gue bener-bener tulus cinta sama lo bukan karena kasihan."

Deg

Vella tertegun mendengarnya. Bagaimana bisa seorang ketua osis menyukai gadis miskin yang hidup sebatang kara sepertinya? Ah, tidak mungkin!

"Ngawur lo," ujar gadis itu seraya terkekeh miris.

"Gue serius, Vella."

Bertepatan dengan itu Alva memilih menghentikan motornya di tepi jalan. "Gue gak pernah bercanda soal perasaan."

"Lo cewek pertama yang berhasil milikin hati gue, Vella."

Vella terdiam. Ia tak menyangka bahwa Alva benar-benar mencintainya. Ia pikir lelaki itu hanya iseng karena akhir-akhir ini selalu saja mendekatinya. Ia harap Alva tidak seperti itu.

"G-gue gak pantes buat lo," lirihnya membuat Alva menengok sedikit ke belakang menatap gadis itu.

"Vella," tegurnya seakan tak suka kala mendengar ucapan Vella.

Alva menghela nafas berat. "Sekali lagi gue tegasin sama lo, gue tulus sama lo."

"Lo jangan dengerin apa kata orang di luar sana yang bilang lo gak pantes bersanding sama gue karena gue gak butuh persetujuan dari mereka, kita gak butuh Vella."


TBC

Voment please?

See you next part!

Ketos VS WaketosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang