Seorang lelaki memasuki tempat yang haram. Kakinya terus melangkah dengan memasang raut wajah datarnya disertai tatapan elangnya yang sangat tajam membuat siapa saja yang melihatnya akan bergidik ngeri. Pasalnya tatapan itu begitu mengerikan juga nampak mencekam.
Dia Alva, lelaki itu memilih duduk di sofa yang nampak kosong. Ia ingin memesan wine. Namun, merasa canggung dan tidak berani memesannya. Jujur saja, ini baru kali pertamanya memasuki club malam.
Dentuman musik terus terdengar. Banyak orang yang asik berjoget. Namun, tidak dengannya yang memilih duduk seorang diri.
Tiba-tiba saja segerombolan wanita malam menghampirinya dan duduk di sampingnya.
"Sendirian aja?" tanya salah seorang wanita dengan nada yang terkesan manja.
Alva menatap wanita itu sekilas. Setelahnya, ia memilih memalingkan wajahnya ke arah lain seakan tak mau menatap para wanita gila itu.
Alva terkejut bukan main kala seorang wanita menduduki pahanya.
Anjing!
Dengan mudahnya Alva mendorong wanita itu hingga tersungkur ke lantai.
Alva mengeraskan rahangnya kala salah satu wanita dari mereka bergelayut manja dilengannya. Bahkan, tak hanya satu, kini yang lainnya pun ikut membelai pipinya, ada juga yang mengalungkan tangannya di lehernya. Sial! Tangannya mengepal penuh amarah.
"Bunda tolong, Alva," lirihnya seraya memejamkan matanya sejenak berusaha memendam amarahnya.
Cukup sudah! Kini amarahnya sudah memuncak, lantas ia segera berdiri lalu menghempaskan lengan wanita itu serta mendorong kasar para wanita itu membuat tubuh mereka jatuh tersungkur.
Alva memilih berlalu dari sana tanpa merasa bersalah. Nafasnya bergemuruh hingga dadanya pun naik turun. Sial! Niat ingin menenangkan diri. Namun, ternyata ia salah tempat.
"Bangsat!"
"Jalang sialan!"
Sesampainya di rumah, Alva memilih membersihkan tubuhnya dan berendam di bathtub. Jika perlu ia harus mandi kembang tujuh rupa untuk membersihkan bekas sentuhan para wanita gila itu.
Ia sama sekali tak tergoda. Justru ia malah jijik hingga tak sungkan menatap mereka dengan pandangan seolah jijik. Mana mau ia dengan wanita malam itu. Masih mending Vella dibanding mereka.
"Arghh anjing! Tubuh gue cuma buat Vella!"
Alva menggosok keras bekas sentuhan para wanita itu.
"Jalang sialan!"
"Bangsat!"
Seketika air matanya yang sedari tadi ia tahan kini mulai luruh membasahi wajahnya.
"Hikss .. bunda, Alva gak suci lagi hiks .. hiks ..."
"Maafin Alva, Vella hiks ..."
Alva terus menggosok tubuhnya hingga tak sadar jika dirinya menggosoknya dengan terlalu keras membuat bekas kemerahan terlihat jelas.
"Vella, hiks .. hiks ..."
Lelaki itu kembali mengeraskan rahangnya kuat. Ia merasa bersalah dengan Vella karena tubuhnya sudah disentuh oleh wanita lain.
Lelaki itu semakin menangis tersedu-sedu. Hingga kini, di kamar mandi hanya terdengar tangisan pilu yang begitu menyesakkan.
***
Di ruang makan hanya terdapat Sonya dan Alva. Suasana terasa hening hingga hanya ada dentingan sendok yang memenuhi ruangan itu.
Kini tak ada Alva yang manja, semakin hari sikapnya semakin dingin dan lebih banyak diamnya. Bahkan, jika ia bertanya pun Alva menjawabnya hanya dengan sepatah sampai dua patah kata, tidak lebih dari itu.
"Gimana sekolah kamu?" tanya Sonya memecahkan keheningan.
"Baik."
Sonya menghela nafas berat. Jujur saja ia tak suka dengan sikap anaknya yang berubah. Alva menjadi sangat tertutup.
"Bunda yakin Vella pasti kembali, kamu fokus aja dulu sama sekolah kamu bentar lagi kan ujian kelulusan."
"Hm."
Setelahnya keheningan kembali menyelimuti keduanya. Namun keheningan itu berhenti di sana saat Sonya kembali membuka suaranya.
"Kamu mau kuliah di mana?"
Alva hanya menggeleng tak tahu masih dengan memakan makanannya.
Sonya menatap anaknya sendu. Ia sangat merindukan sikap anaknya yang manja, jujur saja ia lebih suka Alva yang manja dari pada Alva yang terus-menerus diam dan tertutup seperti ini.
"Alva, bunda mohon jangan seperti ini Nak," lirihnya membuat Alva menghentikan acara makannya.
Lelaki itu masih diam tak menatap bundanya.
"Bunda kangen kamu, Nak. Jangan seperti ini terus."
"Bunda tau kamu sangat kehilangan Vella, tapi apa kamu gak mikirin perasaan bunda, Nak? Bunda sedih liat kamu seperti ini. Bukan kamu saja yang kehilangan Vella, bunda juga merasa kehilangan, Alva..."
Sedetik kemudian Alva mendongak menatap bundanya dengan mata yang sudah berair. Hatinya sesak kala melihat bundanya menangis di hadapannya. Ini kali pertamanya ia kembali melihat Sonya menangis setelah sekian lama. Dulu ia melihat Sonya menangisi kepergian ayahnya, setelah itu ia tak lagi melihat bundanya yang menangis. Namun kini, ia kembali melihat Sonya yang menangis tersedu-sedu dan itu karena keegoisan dirinya.
Ia hanya memikirkan dirinya sendiri yang begitu kehilangan Vella sampai tak memikirkan perasaan bundanya yang juga merasa kehilangan Vella, terlebih lagi bundanya pasti juga sedih melihatnya yang berubah drastis.
Alva berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri bundanya untuk memeluk Sonya dari belakang. "Maaf bunda," lirihnya.
"Alva kangen Vella hiks ..."
Sonya mengusap lengan Alva lembut. "Bunda paham, sayang."
Alva mengeraskan rahangnya. Ia sadar jika dirinya sangat egois. "Maaf hiks ... maaf udah bikin bunda nangis," ujarnya masih dengan terisak.
"Gak ada yang perlu disalahkan sayang, bunda cuma sedih liat kamu yang sekarang udah gak kayak dulu lagi."
"Habisin makannya, ya?" Alva mengangguk dan kembali duduk di bangkunya lalu kembali melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.
Jangan sangka jika Sonya dan Alva selama ini diam saja tanpa ingin mencari tahu keberadaan Vella di mana. Justru keduanya sudah menyuruh orang serta detektif untuk mencari keberadaan Vella. Namun hasilnya nihil, mereka sama sekali tak berhasil menemukan keberadaan Vella di mana. Bisa saja Vella mengganti identitasnya, alhasil mereka tak bisa menemukan dimana keberadaan Vella.
•
•TBC
Voment please?
See you next part!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketos VS Waketos
Teen FictionMenceritakan seorang gadis yang hidup dengan penuh liku-liku diantara hiruk pikuknya kehidupan. Gadis yang hidup sebatang kara itu tengah menyandang status sebagai wakil ketua osis di sekolahnya. Dia Vella, Keiza Louvella. Vella tak pernah menyangka...