CHAPTER 22

6K 226 68
                                    

Hari berhari hubungan Alva dan Vella semakin dekat, sesekali mereka bertengkar karena hal yang sepele. Alva pun terkadang selalu cemburu ketika Vella berdekatan dengan Aro. Namun, Alva tahu jika Aro semakin hari ternyata sikapnya terlihat baik dan sewajarnya, tentu hal itu mampu membuatnya dapat bernafas lega. Setidaknya Aro tidak berniat merebut Vella darinya. Jika suatu hari nanti Aro begitu, sudah dapat dipastikan bahwa dia tak bisa memaafkan lelaki itu. Namun kini, kedekatan mereka pun masih terlihat wajar.

Kemarin kedua ponakannya itu sudah kembali ke Surabaya karena Tante dan om-nya sudah kembali pulang ke Indonesia.

"Aro, umur lo berapa?" tanya Vella yang sejak awal sudah penasaran akan hal itu.

"19 tahun, kenapa?"

Vella mengerjapkan matanya berulang kali lucu. "Seriously?"

"Seriousna," balas Aro dengan tersenyum manis.

"Serius woii," seru Vella.

Aro mengangguk. "Iya, emang yang gue bilang itu bener."

Vella menatap Alva yang juga tengah menatapnya. Seketika keduanya saling memandang satu sama lain. Keduanya kembali menoleh pada Aro. "Gue pikir kita seumuran, ternyata kita beda 2 tahun."

"Muka lo awet muda, ya," kekeh gadis itu.

"Gue panggil lo Abang aja, ya? Kebetulan dari dulu gue pengen banget punya Abang."

Aro tersenyum kecut. "Angjaii gue dipungut."

"Berarti gue pemulung dong?" gumam Vella membuat Alva terkekeh geli akan kepolosan gadisnya.

"Gak gitu juga konsepnya markonah," desis Aro.

Gadis itu cekikikan. "Gakpapa deh, gue jadi pemulung berkelas."

Aro tergelak tawanya mendengar penuturan gadis itu. Ternyata Vella sangatlah asik.

"Bini lo sinting, Al. Pfftt.. AHAHAHHA..."

Alva menatap Aro jengah. "Enak aja lo bilang dia sinting."

Aro semakin tertawa lepas hingga perutnya sakit. Vella ikut tertawa. Jujur saja, tawa Aro sangat menular.

***

Seperti biasa Alva selalu menjemput gadisnya pulang kerja. Kini keduanya sudah sampai di apartemen.

Alva mengelus rambut gadisnya sayang. "Ngantuk, hm?" Vella mengangguk menanggapinya.

"Gimana kalo lo berhenti aja? Kan ada gue, biar semuanya gue yang tanggung."

Vella menatap Alva lekat. "Gak bisa, lo masih pacar gue bukan suami gue. Gue juga pengen mandiri, Al. Cukup gue yang numpang di apart—"

Dengan cepat Alva menutup bibir gadis itu dengan jari telunjuknya membuat Vella terpaksa tak melanjutkan ucapannya. "Stt, hei. Siapa bilang lo numpang, hm? Lo cewek gue, apart gue juga apartemen lo, rumah gue juga rumah lo, begitupun kebahagian lo juga kebahagiaan gue."

"Sejak lo masuk ke dalam hidup gue, sejak saat itu juga gue gak bakal lepasin lo. Kalo kita nikah, lo juga bakal jadi tanggung jawab gue. Anggap aja ini trial."

"Lo pindah ke sini juga karena gue yang nyuruh, bukan karena lo yang mau, right?"

Vella mengangguk pelan. "Iya si, tapi seharusnya sekarang gue gak di sini, Al."

Alva menghela nafas panjang. "Gak perlu bahas itu lagi, sekarang lo udah di sini, itu artinya lo gak bisa keluar lagi kecuali kalo gue yang minta saat kita udah nikah dan pindah ke rumah baru."

"Jadi, mau gak berhenti kerja?"

Vella terdiam. Sedetik kemudian ia menggeleng. "Untuk saat ini gue belum bisa, Al. Setelah lulus gue pasti bakal cari kerjaan tetap."

Alva menatap gadisnya lekat. "Lo lupa kalo setelah lulus kita nikah, hm?"

"Itu artinya hidup lo gue yang tanggung, lo gak perlu susah-susah nyari kerja karena gue yang bakal biayain hidup lo sama anak-anak kita nanti."

"Gue juga udah belajar ngurus perusahaan Mama yang di surabaya. Jadi lo gak perlu takut kalo kita bakal miskin."

Vella terharu dengan ketulusan Alva. Sejak awal pun ia tak pernah menyangka akan menjadi kekasih Alva. Ia kira ia hanya akan jadi partner Alva semasa ia menjabat menjadi wakil ketua osis di sekolahnya. Semoga saja ia benar-benar bisa bersama Alva menemaninya hingga hari tua itu tiba dimana ia dan Alva menjadi seorang nenek dan kakek memiliki banyak cucu serta cicit.

Tanpa sadar air mata gadis itu kian luruh membasahi wajahnya. Hal itu mampu membuat Alva tertegun. "Hei, kenapa nangis, hm?"

Vella menggeleng pelan. Ia menggengam lengan Alva lalu tersenyum hangat. "Makasih, Al."

Alva mengangguk seraya membalas senyuman Vella. "Jangan nangis dong, tidur, gih katanya ngantuk." Tangannya terangkat untuk mengusap air mata gadis itu dengan ibu jarinya.

Vella mengangguk. Ia memilih berlalu masuk ke dalam kamar. Sedangkan Alva hanya menatap kepergian gadisnya dengan tersenyum hangat.


TBC

Voment please?

See you next part!

Ketos VS WaketosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang