“Aduh ... aduh! Iya, ampun, Pak. Besok nggak lagi, deh,” pekik remaja itu saat pria berkumis di depannya memperkuat jeweran.
“Sakit, ‘kan?” Pak Tomo, sang guru BK yang paling gemar menghukum siswa itu mendelik tajam.
“Iyalah. Masih ditanya segala. Bapak kalau dijewer kira-kira sakit apa malah enak?” Bocah itu masih berusaha melepas jeweran di telinganya.
Namun, bukannya berhenti, Pak Tomo justru berjalan sembari menarik Rei untuk mengikuti langkahnya. Pria berkumis tebal itu membawa Rei menuju ke bagian paling belakang sekolah, yang merupakan lapangan basket.
“Dikasih tahu, bukannya sadar malah jawab terus! Sekarang kamu bersihkan seluruh lapangan ini, dan kembali ke kelas. Hanya kurang dua jam lagi, dan kamu mau membolos? Jangan mentang-mentang pintar, kamu bisa seenaknya meninggalkan jam pelajaran,” tukas Pak Tomo kemudian melepaskan tangannya dari telinga Rei.
“Saya nggak mau bolos, Pak. Cuma mau cari angin, di kelas sumpek.” Cowok itu mengusap telinganya yang kini terasa panas.
Sungguh sial sekali nasibnya. Padahal sudah memberi sogokan pada satpam berupa satu bungkus rokok mahal, agar ia mendapat akses keluar dengan mudah. Akan tetapi, Pak Tomo sudah lebih dulu memergokinya di tempat parkir saat ia berusaha mengeluarkan motor.
“Saya nggak mau dengar alasan lagi. Cukup selesaikan hukuman, dan kembali ke kelas.” Pak Tomo menepuk-nepuk pelan bahu bocah di depannya.
“Maaf kalau saya terlalu keras, tapi di sini posisi saya juga nggak menguntungkan, Rei,” sesal pria itu lantas berbalik dan melangkah pergi.
Jemari remaja itu mengepal. Bahkan sekolah yang menjadi satu-satunya tempat ia bersenang-senang pun tak luput dari pengawasan ibunya. Seakan setiap embus napasnya bukan lagi di bawah kendalinya.
“Ck … yakali gue harus nyapu. Nongki di kantin juga beres,” tukasnya sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Mengetik pesan pada salah satu nomor di kontak, kemudian melenggang menuju tempat terakhir yang bisa mengembalikan suasana hatinya.
To: Calvin
[Sapuin lapangan basket. Gue mau makan Indomay dua mangkok di tempat Bu Mel.]
🍬🍬🍬
Rumah yang ditinggali sekarang, bagi Rei tidak bisa disebut rumah. Karena dia tidak memberi kehangatan, maupun kenyamanan. Yang Rei rasakan hanya dingin, gelisah, dan tercekik. Bahkan tetumbuhan hijau yang subur mengelilingi tanahnya sama sekali tak mengurangi rasa sesak yang kian hari kian mendesak.
“Hari ini Mama nggak pulang lagi?”
Lelaki itu duduk di kursi meja belajarnya sembari membalik halaman buku saat kedua telinganya disumbat oleh headset bluetooth.Terdengar helaan napas dari sosok di seberang. “Kenapa, Rei? Baru juga tiga hari lalu Mama pulang. Kok, udah tanya lagi kapan pulang.”
“Nggak kenapa-kenapa, sih. Cuma kangen, hehe.”
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...