Cuaca di luar cukup terik, rasanya sinar matahari bisa langsung membakar kulit jika tak mengenakan pelindung. Namun, di kondisi seperti itu, Rei justru memilih untuk mengenakan kemeja berlengan panjang warna navy dengan corak kotak-kotak sebagai penutup tubuhnya. Penampilannya langsung mendapat tatapan aneh dari para sepupu.
“Are you serious about wearing that shirt? It’s hot outside, Rei,” celetuk Sherina, adik Zion yang seumuran dengannya.
Si pemilik nama mengangguk mantap. “Yakin banget, apa salahnya? Malah nggak perlu pakai sunblock juga kalo begini.” Ia justru merasa pertanyaan Sherina terdengar aneh.
Mendapar jawaban itu, Sherina berdecak sebal. “Such a weirdo,” cercanya pelan.
Sejujurnya, Rei menggunakan kemeja lengan panjang untuk menutupi bekas luka di lengannya. Entah apa yang terjadi, pagi tadi Theo tiba-tiba murka. Tentu saja karena yang paling dekat adalah Rei, dia menjadi samsak. Dan sebagai imbasnya, lengan Rei membiru akibat tendangan asal dari cowok bermata almond itu.
“Udah, udah jangan berantem. Lagian hari ini kita main ke mall, jadi nggak aneh pakai baju lengan panjang di dalem tempat ber-AC,” lerai Jessica sebelum keadaan semakin keruh.
“Sekarang masuk ke mobil masing-masing, kita berangkat,” lanjutnya kemudian membuka pintu salah satu dari dua mobil yang mereka gunakan.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Rei mengambil tempat duduk di samping Jessica. Selain menghindari suasana canggung jika duduk dengan sepupu yang lain, Rei juga tak ingin terjebak dalam satu mobil yang sama dengan Theo. Ada sedikit trauma yang tersisa dari insiden pagi tadi.
Roda kendaraan yang membawa delapan cucu keluarga Caleb itu melesat mulus membelah jalanan kota. Lalu lalang kendaraan yang tak sepadat ibu kota membuat mereka sampai tujuan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, di waktu yang sesingkat itu Rei justru terlelap. Beruntung, tepukan pelan di pipi oleh Jessica berhasil membangunkannya.
“Kalian main aja biar Kakak nunggu di depan, ya. Mau beli minuman,” ucap Jessica ketika mereka tiba di depan pintu masuk sebuah game center.
Hal itu dihadiahi sorakan senang oleh semua orang. Tak butuh waktu lama, sekumpulan yang didominasi oleh remaja itu berhambur masuk dan membeli kartu untuk bermain bermacam permainan di dalam arcade. Melihat itu semua, Rei menelan ludah dengan susah payah.
Di satu sisi, rasa senang karena bisa mendatangi tempat ini bersama keluarga sangat membuncah. Namun, di sisi lain, keberaniannya telah dilibas habis oleh rasa terkucilkan yang sedari kemarin ia terima. Rei hanya bisa pasrah saat semua orang secara berkelompok memilih permainan, sedangkan dirinya tertinggal di belakang.
‘Ayo, Rei. Jangan takut, lo ‘kan bisa main sendiri. Kayak bocah TK aja yang butuh ditemenin,' batinnya menyemangati diri sendiri.
Menjauhkan diri dari rombongan, Rei mendekati salah satu wahana yang biasa ia mainkan saat pergi dengan kekasihnya. Ah, tidak. Maksudnya mantan kekasih. Karena saat ini Rei belum menjalin hubungan lagi sejak putus dengan Chelsea.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...