Kelas sudah mulai sepi saat bel tanda istirahat berdering beberapa menit lalu. Hanya menyisakan beberapa siswa yang menghabiskan waktu makan siangnya di kelas karena membawa bekal, dan beberapa lagi bermain game di sudut kelas. Sementara Rei sendiri memilih untuk menyandarkan kepalanya ke atas meja sembari memainkan ponsel dan menggulir layar tanpa ada aplikasi yang akan ia buka, hingga Calvin menepuk pundaknya.
“Apaan?” tanya Rei tanpa mengalihkan pandangan dari layar gawainya.
“Nggak ke kantin?”
Rei menggeleng lesu. “Nggak, mager.”
“Tapi dari pagi lo belum makan apa-apa, Rei. Apa ke kantin sebelah aja kalo lo bosen sama kantin sini?”
Lagi, Calvin bertanya, karena ia tahu jika sahabatnya ini sering kali melewatkan makan siang hanya karena malas dan tidak bernafsu untuk menyantap makanan. Calvin khawatir kebiasaan buruk itu akan membuat Rei diserang penyakit seperti maag atau mungkin lebih parah daripada itu.
“Ke kantin anak kelas sepuluh?” tanya Rei yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Calvin.
“Sound good. Siapa tahu adek crush ada di situ.” Rautnya berubah cerah ketika wajah Keisha muncul di bayangannya.
Jawaban itu sontak membuat Calvin merotasi bola matanya. “Stop main-main sama perasaan cewek, awas karma.”
“Siapa bilang main-main? Gue serius, kok,” sahut si lawan bicara sembari bangkit dan mulai melangkah keluar kelas.
Rei mengatakan itu bukan tanpa alasan, karena kali ini ia benar-benar menyukai sosok Keisha. Gadis kelas sepuluh yang entah mengapa selalu membuatnya merasakan debar aneh setiap kali berhadapan. Namun, hingga saat ini ia sama sekali tidak memiliki niat dan keberanian untuk menyatakan perasaannya. Sebab Rei merasa belum pantas untuk gadis sebaik itu, dan mungkin tidak akan pernah pantas.
“Sh*t! Kenapa rame banget?” dengkus bocah itu ketika mendapati nyaris seluruh meja sudah terisi oleh segerombolan siswa yang mulai menyantap jajanannya.
“Kita yang dateng telat,” timpal Calvin enteng.
Keduanya baru saja akan berjalan ke salah satu meja untuk duduk ketika sebuah keributan yang berasal dari sudut keramaian menyita perhatian seluruh penghuni kantin. Dan di detik itu juga, Rei membeku di tempatnya ketika tahu siapa sosok yang memicu keributan itu.
“Hei, hei. Jangan ke situ, Rei!” sergah Calvin kemudian mencengkeram erat lengan Rei ketika remaja itu hendak mendekat ke pusat keributan.
“T–tapi itu Bang Theo lagi gangguin Aaron, Vin. Bisa-bisa itu bocah kenapa-kenapa kalo gue diem aja,” balasnya dengan suara rendah.
Dari tempatnya berdiri, Rei melihat jika sepertinya Theo telah menumpahkan minuman ke tubuh Aaron. Terbukti dengan seragam bocah itu yang basah dan terdapat noda kemerahan dari warna minuman. Jika dia diam saja, bagaimana jika sampai Rei kembali melukai bocah itu seperti tempo hari? Ingatan tentang Aaron yang pingsan di toilet usai dirundung oleh Theo dan gerombolannya masih jelas terpatri di otak Rei.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...