Pagi hari tiba dengan begitu cepat, setelah Rei memejamkan mata kurang lebih tiga jam. Dia tidak bisa benar-benar tidur ketika mendapati suhu tubuh Theo tak kunjung menurun setelah memakai plester penurun panas. Pikiran buruk terus mengganggunya, dan berakhir dengan dirinya yang menetap di kamar sang kakak hingga dini hari. Barulah ketika panas di tubuh Theo berkurang, Rei berpindah ke kamarnya dan berhasil tidur.
“Aden kenapa nggak bangunin Bibi aja semalam, jadinya Aden yang kecapekan, ‘kan?”
Sosok dengan apron yang masih melekat di tubuh itu menatap iba pada Rei yang beberapa kali menguap ketika duduk di kursi dapur. Setelah tahu jika Theo demam, Bi Salma lantas membuat bubur untuk cowok itu. Rei awalnya bersikeras untuk membantu, tetapi wanita itu melarang keras. Melihat sang tuan muda tampak kelelahan, mana bisa ia membiarkannya ikut berkutat di dapur.
“Aku nggak tega bangunin Bibi tengah malem. Dibanding aku, Bi Salma pasti lebih capek karena udah ngurusin rumah seharian. Jadi anggap aja aku lagi belajar jadi adik yang berbakti,” sahut Rei dengan kekehan pelan, berharap agar wanita ini berhenti khawatir berlebihan padanya.
Dengan kedua tangan yang sigap memindahkan bubur ke dalam mangkuk, Bi Salma berujar, “Iya, Bibi tahu maksud Aden. Tapi kalau nanti ujung-ujungnya gantian Den Rei yang sakit ‘kan sama aja. Lain kali jangan begitu, ya, Den. Bibi khawatir.”
“Iya, deh. Aku juga nggak akan sakit, jadi biar Bibi nggak khawatir. Nggak akan ngerepotin Mama juga.”
Jawaban yang terlontar dari bibir Rei membuat gerakan tangan Bi Salma berhenti sejenak. Wanita itu menatap bocah di depannya sekilas kemudian kembali melanjutkan kesibukannya. Sudut hatinya terasa sedikit nyeri mendengar kalimat itu, ditambah dengan senyum di wajah Rei saat mengucapkan hal itu membuatnya iba. Dia bukanlah orang dungu yang tak mengerti bagaimana situasi keluarga ini. Sebuah keretakan tak kasat mata telah melanda, dan sama sekali belum ditemukan cara untuk memperbaiki.
“Tunggu, Bi!” Remaja itu tiba-tiba bangkit saat melihat Bi Salma berdiri dengan membawa nampan berisi bubur.
“Biar aku aja yang bawain ke kamar Abang. Bibi kerjain yang lain aja,” lanjutnya dengan tangan yang sudah terulur, siap menerima nampan dari wanita di hadapannya.
Bi Salma meremas pelan ujung nampan. “Nggak usah, Den. Biar Bibi aja. Lagian Aden tahu sendiri ‘kan kalau Den Theo nggak suka Aden masuk ke kamarnya. Nanti malah jadi ribut,” ungkapnya cemas.
Rei menggeleng dan merebut nampan dari tangan Bi Salma sebelum wanita itu sempat bereaksi.
“Nggak mungkin, dia ‘kan lagi sakit. Pukulannya juga nggak akan sekeras sewaktu sehat. Bibi tenang aja, oke? Aku naik dulu,” tukas bocah itu kemudian melesat tanpa menunggu reaksi dari wanita paruh baya yang kini hanya mampu menghela napas berat.
Sementara itu, Rei yang sudah tiba di depan kamar Theo lantas mendorong pintu di hadapannya hingga benar-benar terbuka. Menampakkan figur sang kakak yang tengah duduk bersandar pada dasboard ranjang dengan mata terpejam. Dari kernyit di dahi, Rei tahu jika kondisi sang kakak masih belum sepenuhnya pulih terlepas dari temperatur tubuh yang sudah mendekati normal.
Meletakkan nampan ke atas nakas, bocah itu menepuk pelan lengan Theo. “Bang, bangun dulu. Gue bawain bubur sama obat. Dimakan, ya,” ujarnya dengan suara lirih.
Sejujurnya, saat ini tubuhnya tengah bergetar hebat. Takut jikalau Theo akan murka begitu tahu siapa yang memasuki kamarnya. Namun, saat sosok itu membuka mata dan menatapnya, Rei tidak menangkap sinyal bahaya selain tatapan tajam yang Theo layangkan.
“Sorry kalo gue lancang masuk ke kamar lo. Tapi gue kasihan sama Bi Salma yang udah capek ngurus rumah, jadi ini sekadar bantu Bi Salma buat bawain bubur ke sini aja,” dustanya yang sukses melunakkan tatapan mata Theo.
“Pokoknya lo harus makan buburnya sampai habis. Gue tunggu di sini dan nanti sekalian —”
“Get out.” Theo memotong ucapan Rei sebelum remaja itu menyelesaikan kalimatnya.
“Gue mau tungguin lo selesai makan dan sekalian nanti turun sambil bawa mangkoknya. Biar Bi Salma nggak perlu naik ke atas.” Rei mencoba bersikeras. Ia hanya ingin menunjukkan kepeduliannya pada Theo sekaligus mencoba dekat dengannya.
“Are you deaf? I said get out of my room! Dengan lihat muka lo di sini, nafsu makan gue udah ilang. Jadi kalo lo ngerasa kasihan sama Bi Salma, pergi sekarang juga. Gue nggak lumpuh sampai butuh bantuan lo buat balikin sendiri mangkuk itu ke dapur,” ketus Theo dengan alis menukik.
Jika saja kepalanya tidak pusing, mungkin sekarang ia sudah mrnyeret bocah lancang ini dan menendangnya keluar dari kamar. Sial, di hari Minggu yang harusnya gunakan untuk berkumpul dengan teman-teman, ia malah diserang demam.
Menyadari jika sang kakak benar-benar tak menginginkan kehadirannya di tempat itu, Rei akhirnya angkat tangan. Bocah itu akhirnya mengangguk dan mundur.
“Oke, nanti kalo sakit lo masih nggak baikan kabari gue atau Bi Salma,” tukas Rei sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Menyisakan Theo yang masih diam di posisi semula.
Sekembalinya dari kamar Theo, Bi Salma langsung menghampiri Rei dengan raut khawatir yang tak bisa disembunyikan. Wanita itu menggenggam pelan lengan Rei dan meneliti tubuh sang tuan muda, berusaha menemukan luka yang mungkin saja tercipta. Namun, ketika tidak ada satu goresan pun yang ia temukan, wanita itu menghela napas lega.
“Astaga, Bi, tenang aja. Aku nggak kenapa-kenapa, kok. Masih utuh, nih,” kekeh Rei yang tak bisa menyembunyikan rasa geli ketika Bi Salma tampak sedikit berlebihan dengan kekhawatirannya.
Wanita di depannya mengelus dada dan lagi-lagi membuang napas lega. “Alhamdulillah, Bibi selalu nggak bisa tenang kalau Aden berhadapan sama Den Theo. Bawaannya cemas terus, dan sedih juga karena Aden berdua belum bisa akur sampai sekarang,” tuturnya sendu.
Rei tak membalas ucapan itu selain mengukir senyum getir. Jangankan Bi Salma, ia sendiri juga sudah lelah dengan semua yang terjadi di antara ia dan Theo. Namun, Rei tak akan pernah berhenti untuk terus berusaha memperbaiki hubungan mereka. Ia yakin, sang kakak masih sama seperti dulu, meski dengan ingatan yang terkubur, sifat alami seseorang tak bisa hilang begitu saja.
“Oh, iya, Bi. Aku mau keluar bentar, titip Abang, ya. Dia pasti lagi makan bubur buatan Bi Salma, tapi aku nggak bisa pastiin dia minum obat karena dia bakal makin marah kalo aku lama-lama di situ,” pungkas Rei sembari mengenakan jaket yang memang sudah ia bawa dari kamar.
Wanita di depannya mengangguk. “Hati-hati di jalan, ya, Den. Jangan pulang terlalu malem juga, nanti ikutan sakit,” sahutnya mewanti-wanti.
Rei hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi ucapan Bi Salma dan bergegas pergi. Tujuannya keluar di hari Minggu ini bukanlah untuk nongkrong atau semacamnya, melainkan membeli hadiah untuk ulang tahun Theo. Ya, kakaknya akan mencapai usia delapan belas dalam dua minggu. Dan Rei ingin memberikan hadiah yang bisa diterima orang itu tanpa penolakan.
–STRUGGLE–
Maaf, lagi sempet update 🥲
Terima kasih, jangan lupa tinggalkan jejak dan follow aku. See you next part~~
Salam
Vha
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...