16. Seorang Teman

580 53 2
                                    

Dulu, sekolah adalah satu-satunya tempat di mana Rei bisa merasa bebas dari segala hal rumit yang mencekiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu, sekolah adalah satu-satunya tempat di mana Rei bisa merasa bebas dari segala hal rumit yang mencekiknya. Dia pandai berakting, mendapatkan teman, meraih prestasi, hingga menciptakan karakter seorang playboy yang gemar berganti pacar. Tentu saja, semua hanya rekayasa, tetapi Rei sangat puas menjalankan peran itu.

Namun, saat memasuki bangku SMA, semua berjalan tak sesuai rencana. Dia masuk ke sekolah yang sama dengan sang kakak, atau lebih tepatnya ialah yang merengek untuk masuk. Dengan bermodal optimis bisa meluluhkan hati Theo, dia justru mulai menderita.

Banyak hal yang berdatangan dan membuat Rei harus berhadapan dengan sosok itu. Dan salah satunya terjadi saat ini. Di mana ia berlari tunggang langgang ke sisi lain dari lapangan basket yang tampak lengang hanya demi menghampiri dua orang yang kini tengah berhadapan. Meski tak tahu seperti apa masalah bermula, tetapi satu yang pasti. Bahwa Theo sedang mengganggu bocah pendek yang sialnya adalah junior Rei di klub voli, sekaligus bocah yang akhir-akhir ini berhasil menarik atensinya.

"What the f*ck?!"

Sebuah umpatan terlontar begitu saja dari Theo saat Rei tiba-tiba datang dan merebut kantong plastik yang semula berada di genggaman cowok itu. Kemudian, hanya dalam sekejap mata, kantong itu sudah beralih tangan karwna direbut oleh si pemilik aslinya.

"Bang Rei," cicit sosok yang kini tampak begitu berharap mendapat bantuan dari sosok yang sebenarnya sudah dicap menjadi musuh karena selalu membuatnya kesal.

Rahang Theo mengeras melihat kemunculan Rei yang sudah seperti pahlawan kesiangan yang mengganggu kesenangannya.

"Ini parasit ikut campur aja!" berangnya.

Aura mencekam yang menguar membuat Rei bersiaga. Ia menarik Aaron agar berdiri tepat di belakangnya.

Menghela napas pelan, Rei kemudian berkata, "Gue harus ikut campur karena yang lo ganggu temen gue."

Namun, sesaat kemudian, setelah mengucapkan kalimat itu entah kenapa Rei merasa ada yang salah. Di mana seharusnya ia tidak mengatakan itu.

"Temen?" Ada sekelebat ejekan saat Theo mengulang kata itu.

Theo terkekeh geli, lantas berujar, "Bangs*t , ngelawak lo? Modelan bocah begini jadi temen lo?"

Dia menatap sosok Aaron yang bersembunyi di balik tubuh Rei seperti tikus kecil yang ketakutan. Sungguh, perpaduan yang sepadan, karena orang rendah sepertinya cocok dikerumuni oleh tikus-tikus yang menjijikkan.

"Setidaknya dia lebih bisa memanusiakan manusia daripada lo."

Rei tercekat tepat setelah ia mengatakan kalimat itu. Dalam hari ia mengutuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh berkata seperti itu meski kini tengah dikuasai emosi yang menggebu.

Namun, belum sempat ia mengucap maaf, pukulan keras telak mengenai pipinya. Ia terhuyung dan hampir saja menimpa Aaron yang berdiri di belakangnya. Beruntung bocah itu punya cukup kekuatan untuk menahan punggung Rei. Bahkan dia memegangi lengannya agar Rei tidak terjatuh. Akan tetapi, lewat sentuhan itu, Rei jadi menyadari jika sebenarnya bocah ini ketakutan. Tangannya bergetar hebat meski tengah mencengkeram erat lengan Rei.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang