33. Bebas

667 77 33
                                    

Entah berapa hari atau minggu berlalu sejak percakapannya dengan Theo malam itu, Rei tidak ingat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah berapa hari atau minggu berlalu sejak percakapannya dengan Theo malam itu, Rei tidak ingat. Hari-harinya kembali disibukkan dengan belajar dan kegiatan ekstrakurikuler voli yang sebentar lagi akan mengikuti turnamen antarsekolah. Meski hanya pertandingan persahabatan, tetapi sebagai kapten, Rei tak akan membiarkan kemenangan jatuh ke tangan tim lawan.

“Gue udah diskusi sama Pak Kevin soal siapa aja yang besok bakal masuk ke tim inti.”

Saat ini seluruh anggota voli tengan berada di ruang klub yang biasa digunakan untuk diskusi atau sekadar beristirahat usai latihan. Dengan kaus yang telah basah oleh keringat, Rei berdiri di dekat papan tulis kecil yang tertempel di dinding.

“Karena total anggota kita ada dua belas, jadi enam orang masuk inti, sisanya jadi cadangan. Dan enam orang inti yaitu, gue, Danar, Angga, Revaldo, Varo, dan Hansa. Jadi untuk kalian, tolong jaga kesehatan dan persiapkan diri, ya. Meski nggak masuk inti, tim cadangan juga nggak boleh leha-leha. Tetep jaga kesehatan dan siapkan diri semisal ada member yang harus diganti. Jadi kita tetap bisa main secara  maksimal meski ada pergantian nggak terduga,” paparnya sembari menulis ulang nama-nama yang ia sebutkan ke papan tulis.

“Kenapa gue jadi cadangan?” protes bocah yang duduk tepat di depan Rei. Kedua alisnya nyaris bertaut karena tak terima mendengar keputusan yang Rei berikan.

“Terima ajalah, cil. Mungkin belum waktunya lo dapet panggung. Lagian lebih baik tim inti diisi sama senior-senior, bukan bocil kematian,” ejek salah seorang anggota yang juga mendapat posisi cadangan.

“Hansa aja masuk inti, kenapa gue enggak? Dia juga kelas satu.” Bocah itu masih bersikeras.

“Udah, Ron. Jangan bikin ribut. Kalo lo nggak terima, biar gue mundur dari tim inti.” Sosok yang menjadi sumber perdebatan akhirnya buka suara. Hansa menarik ujung kaus sahabatnya dan memberi isyarat agar tidak menyebabkan keributan lebih jauh lagi.

“Keputusan ini udah bulat, dan nggak bisa diganggu gugat. Gue harap kalian bisa terima.” Rei menyela, kemudian menatap jengkel pada bocah yang kini melipat kedua tangannya di dada.

“Aaron bisa main, tapi nggak sekarang. Asah lagi kemampuan lo sampai layak main bareng tim inti. Jangan dikit-dikit ngambek, dikit-dikit capek, tapi pas ada turnamen pengen masuk tim inti. Harga diri sekolah dipertaruhkan di sini. Paham?” tukasnya dan membuat Aaron tak lagi berkutik.

Merasa tak ada lagi yang disampaikan, Rei mengakhiri pertemuan anggota itu dengan cepat lantas beranjak meninggalkan ruangan yang kini mulai dipenuhi dengan kasak-kusuk seputar pertandingan itu. Langkahnya terasa berat, pun dengan sensasi pening yang sedari tadi menyerang membuat cowok itu ingin segera sampai ke mobil. Setidaknya dia bisa sedikit beristirahat untuk meredakan pusing sebelum mengendara.

Namun, belum genap sepuluh meter ia melangkah, sosok Aaron tiba-tiba menyusul dan berhenti tepat di depannya.

“Kenapa lagi, Ron?” Rei membuang napas jengah. Meski ingin, dia tak bisa marah pada bocah yang merupakan korban penindasan Theo. Bahkan dirinya sudah berjanji untuk bersikap baik pada Aaron sebagai salah satu bentuk permintaan maaf, meski bukan dia yang seharusnya bertanggung jawab.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang