Entah sudah berapa kali bocah itu mondar-mandir di depan televisi dengan menggigit ujung kukunya, cemas. Tiga jam berlalu sejak sang kakak pergi dengan mengendarai mobilnya, selama itu pula Rei tak bisa tenang. Pikiran-pikiran buruk tentang bagaimana reaksi Theo jika sampai ia benar-benar mengingat masa itu mengusik Rei lebih dari sebelumnya.
“Kamu kenapa, Rei?” Teguran dari Samuel yang muncul dari belakangnya membuat Rei sedikit terkejut akan kehadiran pria itu.
“P–papa? Udah pulang, ya,” sahutnya masih belum bisa mengendalikan rasa terkejutnya.
Menyadari gelagat aneh sang anak, Samuel mengeryit. “Kamu kenapa?” tanyanya mengulangi pertanyaan yang belum mendapat jawaban.
Rei sontak menggeleng. “Nggak kenapa-kenapa, tuh.”
“Jangan bohong,” sanggah pria itu. “Papa udah berdiri lima menit lebih di depan pintu, tapi kamu mondar-mandir terus seperti cemas akan sesuatu. Ada yang mengganggu pikiran kamu?” tukasnya kemudian meraih lengan Rei. Bocah itu masih belum berhenti menggigit kuku sampai Samuel yang menghentikannya.
“Itu ….” Rei melirik sekilas sang ayah sebelum akhirnya menunduk, ragu dengan apa yang akan diucapkan.
Di depannya, Samuel dengan sabar menunggu si bungsu untuk mau mengeluarkan suara. Pria itu sedikit banyak tahu jika Rei tak seperti Theo yang bisa dengan mudah melontarkan apa isi hatinya. Dibanding bercerita, Rei adalah tipikal yang lebih suka memendam dan menyimpannya sendiri. Dan itulah yang membuat Samuel sering merasa khawatir dengan putranya ini.
“Abang udah tahu semuanya, ya, Pa?” lirih remaja itu pada akhirnya.
“Bisa dibilang iya, bisa juga tidak. Karena dia hanya tahu, tapi sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Kenapa? Apa kamu khawatir dia akan histeris seperti dulu lagi kalau ingatannya kembali?” tanya Samuel, menelisik hal yang mungkin saja menjadi penyebab kegundahan si bungsu.
Pertanyaan yang tepat sasaran, dan Rei akhirnya mengangguk lesu karena sang ayah bisa dengan mudah menebak isi pikirannya. Dia bahkan tidak lagi bisa menyembunyikan ekspresinya di depan Samuel padahal selama ini Rei selalu berhasil mengelabui mereka.
Tepukan pelan mendarat dibahu remaja itu, membuat ia yang semula tertunduk lantas mendongak. Mencoba memberanikan diri untuk balas menatap pria di depannya yang kini tampak tengah memaksakan tersenyum padanya.
“Jangan terlalu memaksakan diri, karena itu semua juga bukan salah kamu. Peristiwa itu adalah untaian takdir yang memang pasti akan terjadi. Dan Theo mungkin masih butuh sedikit waktu untuk memproses sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak dia ketahui. Biarkan dia memutuskan sendiri langkah yang akan diambil, setidaknya sekarang sudah tidak ada lagi rahasia yang akhirnya hanya akan memecah belah kita.” Lagi, Samuel berucap.
Rei tak lagi menyahut, hanya anggukan lemah yang ia berikan sebagai respons atas ucapan sang ayah. Setelah pria itu berbalik dan pergi menuju ruang kerjanya, barulah Rei menjatuhkan diri ke sofa dan kembali mengeluarkan helaan napas berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...