Bunyi berdebum diiringi jatuhnya beberapa tumpukan kursi yang semula tertata rapi memecah sunyi di salah satu ruangan yang jarang dijamah itu. Setelahnya rintihan terdengar dari sosok yang kini terduduk di lantai sembari memegangi punggungnya.
“Dasar gila,” ucapnya sambil mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya.
Entah kesalahan apa yang sudah Calvin lakukan, tiba-tiba Theo menyeretnya ke gudang di dekat tempat parkir mobil. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu langsung menghajarnya. Membabi-buta sampai Calvin tak memiliki sedikitpun celah untuk melawan. Hingga ketika Theo sudah berhenti, barulah remaja itu bisa mengeluarkan suara.
“Mau lo apa, sih, Bang? Tiap hari gangguin Rei terus. Tingkah juga seenaknya. Sadar nggak kalo lo childish?” lanjut Calvin.
Meski sekujur tubuhnya sudah terasa remuk, dia tetap melontarkan kalimat yang cukup mengundang amarah Theo. Terbukti dengan satu tendangan yang lagi-lagi menghantam tubuhnya tanpa ampun. Barulah ketika Calvin meringkuk di lantai dan terbatuk, ia menghentikan aksinya.
“Yes, I’m childish. So what?” Theo menyisir rambut coklatnya ke belakang.
“Gue hajar lo juga karena lo itu anjing bocah itu. Lagian, mana ada anjing pelihara anjing?” lanjutnya terkekeh sarkas.
Theo tersenyum puas melihat Calvin yang babak belur di di tangannya. Akhir-akhir ini ia makin kesal karena Rei seolah tak goyah hanya dengan pukulan-pukulan yang ia berikan. Entwh tubuhnya yang mulai kebal atau apa, yang jelas itu membuat Theo jengkel. Kemudian sebuah ide muncul di kepalanya, yaitu dengan mengincar orang-orang yang dekat dengan Rei untuk menghancurkan bocah itu dari dalam.
Remaja itu bangkit kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi nomor yang selama ini tak pernah masuk ke dalam daftar kontaknya. Namun, hanya dengan melihat tiga digit angka di belakang, ia tahu bahwa ini adalah nomor orang itu.
“Wah, keajaiban apa yang Tuhan kirim sampai-sampai gue dapet telepon dari lo, Bang? Pas masih di sekolah lagi,” sambar sosok di seberang panggilan, tepat setelah mereka terhubung.
Nada ucapannya yang terdengar ceria membuat Theo tersenyum miring.
“I have a gift for you,” sahutnya singkat lantas mematikan sambungan. Ia mengambil beberapa gambar dari Calvin yang kini meringkuk di lantai kemudian mengirimkannya ke nomor yang baru saja ia hubungi.
“Nah, habis ini majikan bakal jemput anjingnya. Tunggu dengan nyaman di sini, ya. I’m off,” tukasnya.
Theo meludah hingga mengenai seragam Calvin, sebelum akhirnya berbalik dan benar-benar meninggalkan tempat itu. Pintu sengaja dibiarkan terbuka, karena mau bagaimana pun ia tak memiliki niat untuk membunuh seseorang di sekolah.
Langkahnya terasa jauh lebih ringan setelah meluapkan sedikit emosinya. Dia juga tidak sabar melihat bagaimana reaksi Rei saat melihat orang yang paling dekat dengannya terluka. Sungguh, membayangkan ekspresi sedih di wajah menjijikan itu sangat menggelitik perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...