10. Katanya, Rumah Tempat Ternyaman

728 76 8
                                    

Mentari bahkan belum setinggi tombak ketika benda berbahan dasar kaca itu beradu dengan dinginnya lantai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari bahkan belum setinggi tombak ketika benda berbahan dasar kaca itu beradu dengan dinginnya lantai. Gema nyaring yang dihasilkan sukses membuat penghuni rumah besar itu kini berkumpul di satu titik. Yaitu, dapur.

"Astaghfirullah, Den! Jangan!" pekik wanita paruh baya yang kini memegangi tangan sang tuan muda.

Meski kalah dalam tenaga, tetapi wanita itu enggan melepas genggamannya. Sembari berteriak heboh, dia berusaha menarik pemuda berambut cokelat itu untuk mundur hingga menciptakan jarak aman dari jangkauan.

"G–gue bener-bener nggak sengaja, Bang, sumpah."

Melihat sang kakak yang masih bersikeras untuk melayangkan bogem padanya, Rei beringsut menuju pintu keluar. Berpikir jika dengan menjauh maka emosi Theo akan mereda, tetapi cowok itu justru dengan mudah menepis genggaman Bi Salma dan berjalan gusar ke arahnya.

"Nggak sengaja?" Pemuda itu menyingkap lengan kemejanya hingga setinggi siku.

"Luka sebesar ini lo bilang nggak sengaja? Apa perlu harus kebakar satu badan supaya bisa disebut sengaja?" tanyanya penuh luapan emosi.

Ruam merah menyelimuti lengan kiri Theo, dan rasa sakitnya semakin menjadi ketika cowok itu menarik kain yang menutupinya. Ini semua terjadi karena Rei yang tak sengaja menyenggol Theo ketika ia tengah menuangkan air panas ke dalam gelas yang pemuda itu pegang. Karena terkejut dan tak bisa merespons dengan cepat, air itu tumpah mengenai lengannya.

"What's wrong with you, Man? Gue udah berusaha nggak berurusan sama lo, tapi selalu aja ada hal yang bikin gue harus hajar lo," geram Theo.

Cowok itu mengambil langkah lebar hingga berhasil memangkas jarak antara dirinya dan yang lebih muda. Kemudian dengan satu tangan ia mencengkram kerah kaus Rei, dan menggunakan satu tangan lainnya untuk melayangkan pukulan ke wajahnya. Sekuat tenaga hingga Rei terjungkal dan kepalanya nyaris membentur meja.

Beruntung kedatangan Samuel berhasil mencegahnya, pria itu berhasil menangkap lengan Rei sehingga anak itu tak terluka lebih parah. Kedatangannya membuat seisi dapur tercekat, terutama Theo. Ia tak menyangka sang ayah akan mendengar keributan ini dari ruang kerjanya.

"Matheo!" bentak Samuel yang sukses membuat si pemilik nama tersentak.

"Apa kamu mulai kehilangan akal? Do you want to kill your brother? You wanna kill him?" tanyanya sembari menarik Rei menjauh.

Jika itu orang lain, Theo pasti sudah menjawab 'iya' dengan lantang. Karena kebenciannya pada Rei sudah sejauh itu. Namun, ketika dia berhadapan dengan Samuel, nyalinya menciut. Seolah otaknya telah diprogramkan untuk takut pada pria yang berstatus ayah ini. Bahkan meski beberapa kali berani membangkang, pada akhirnya Theo tetap kalah jika berhadapan dengan Samuel.

"He start it first," sahutnya dengan suara memelan. Melihat kilat marah di mata Samuel berhasil mengikis habis keberaniannya.

"Hal apa yang membuat kamu sampai tega pukul Rei? He's your brother, and you're the older one. Kenapa kamu tidak bisa bersikap lebih dewasa selayaknya kakak? Mau sampai kapan kamu bertingkah seperti sampah?" timpal Samuel yang tak bisa menerima alasan Theo begitu saja.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang