30. Kilas Balik

486 54 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Abang, aku mau pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Abang, aku mau pulang. Di sini, gelap. Aku takut,” cicit bocah dengan baju yang tidak lagi bersih itu.

Ia meringkuk, menempel pada tubuh sang kakak yang kondisinya juga tak jauh berbeda darinya iu. Bahkan meski ketakutan, anak itu berusaha keras meredam isakan walau air mata sudah membanjiri kedua pipi. Tak ingin menimbulkan kebisingan yang mungkin akan mengundang perhatian orang-orang di depan pintu.

“Ssttt ... jangan berisik. Aku juga takut, tapi aku nggak banyak bicara. Papa said, we have to keep calm in any situation.”

Sosok bermata almond itu menggigit bibir bawahnya. Dia juga ketakutan, tetapi melihat yang lebih muda sudah begitu ketakutan, mau tak mau ia pun menekan rasa takutnya sendiri.

After all, it's because of you, we captured by the kidnapper. So, don't dare to cry,” ancamnya tanpa peduli jika sang adik mengerti atau tidak tentang apa yang diucapkan.

“Aku mau ketemu Mama, Bang. Ayo keluar dari sini,” rengek bocah itu terbata akibat air mata dan ingus yang semakin deras mengalir.

Okay, but how? Can't you see if we're locked up? And there no escape from this room except the door that locked now. Please, Rei, stop crying!” sentaknya yang justru membuat tangis Rei semakin pecah.

“Abang ngomongnya pelan-pelan, aku nggak ngerti. Aku baru dua bulan belajar bahasa Inggris. Huwaaa ....”

Melihat Rei kini terisak, tak ayal membuat Theo kelabakan. Ia hanya ingin membuat bocah ini berhenti merengek, bukan menakutinya. Namun, kosa kata bahasa Indonesia yang ia miliki masih sangat terbatas, dan itu menjadi kendala komunikasi keduanya.

“Diam ... aku cuma minta kamu untuk diam, jangan—"

Belum selesai ia berujar, pintu yang semula terkunci rapat tiba-tiba terbuka diiringi dengan sedikit bantingan. Kemudian dua sosok pria bertubuh besar berdiri di hadapan mereka. Salah satu di antaranya tampak begitu risi dengan suara isakan Rei.

“Berisik! Mulut dibiarin karena kasihan malah nangis. Kalian mau dilakban aja?!” sentak salah seorang yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam.

Suara keras sekaligus postur tubuh yang besar membuat sosok itu tampak menakutkan di mata kedua bocah itu. Theo yang semula masih mampu menahan diri untuk tidak menangis pun kini bergetar ketakutan.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang