14 ; Si Akar Masalah

690 58 6
                                    

Ketika mendongak, angkasa kelam yang pertama kali remaja itu tatap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika mendongak, angkasa kelam yang pertama kali remaja itu tatap. Rinai halus mendarat di telapaknya saat ia mengulurkan tangan. Hari ini turun hujan, lagi. Entah sudah berapa kali ia harus menerobos hujan dengan mobil yang baru beberapa minggu ini ia tumpangi.

Ya, di kelas sebelas ini Rei akhirnya bisa menggunakan mobil sebagai transportasi menuju sekolah. Bukan berasal dari hadiah atau semacamnya. Sebab itu hanya janji Celine yang akhirnya wanita itu penuhi. Bahwa Rei baru boleh menggunakan kendaraan beroda empat ketika usianya genap tujuh belas tahun dan duduk di bangku kelas sebelas SMA.

Namun, nyatanya hal itu bukan fokus utamanya. Meski tak ada alasan yang membuat ia membencinya, Rei tak pernah suka dengan hujan. Awan gelap, rintik air, serta dingin yang kadang menusuk kulit membawa getar tak nyaman untuknya. Jika boleh memilih, Rei ingin cuaca selalu cerah dengan embusan angin segar yang menerbangkan beberapa helai anak rambutnya.

Remaja itu menghela napas. “Harusnya tadi nggak usah sok-sokan me time. Rebahan lebih menguntungkan,” keluhnya diiringi decakan pelan.

Di hari libur nasional ini hanya ada dirinya dan sang kakak di rumah. Setelah ketegangan di meja makan tempo hari, kedua orang tuanya kembali disibukkan dengan pekerjaan. Sedangkan Theo jadi semakin mudah terpancing emosi kemudian berakhir memukulnya.

Meski selalu memilih untuk tak melawan, tetapi Rei juga hanya manusia yang memiliki batasan. Dan pagi ini dia sudah merasakan remuk di sekujur tubuh. Bahkan ujung bibirnya juga sedikit robek akibat bogem mentah dari Theo.

Menepikan mobil di sisi kiri jalan, Rei mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Nyaris pukul lima sore, dan dia sama sekali belum menemukan tujuan yang jelas untuk menghabiskan sisa hari libur. Sekarang masalah baru muncul, dia lapar. Hujan di luar tampaknya membawa dampak alamiah bagi perutnya yang kini meronta minta diisi.

“Laper,” lirihnya dengan kepala bersandar pada setir mobil.

Jika kembali ke rumah dan berpapasan dengan Theo, Rei takut emosi cowok itu belum reda. Kemudian berakhir dengan dirinya menjadi samsak. Ketidakmampuan untuk membalas sangat merugikan fisik maupun psikisnya. Ah, Rei benar-benar tidak mau pulang sekarang.

Di saat bersamaan, netranya tak sengaja menangkap sebuah papan bertuliskan nama sebuah minimarket. Letaknya tak begitu jauh dari ia memarkirkan mobil. Dan detik itu juga, senyum tipis berhasil terukir di kedua sudut bibir remaja itu.

Mengabaikan hujan yang masih menyisakan rinai derasnya. Rei keluar dari mobil dan berlari kecil menuju minimarket itu. Tak ada payung sebagai pelindung, bocah itu hanya mengenakan tudung jaketnya serta menyembunyikan ponsel dan dompet di balik kantong. Meski sudah berlari cukup cepat, tetesan air hujan tak bisa dihindari. Ia kebasahan.

“Kurang cepet gimana lagi gue,” decaknya lirih.

Dia sengaja meninggalkan mobil di tepi jalan dengan marka parkir agar tidak memakan ruang di minimarket. Namun, tampaknya niat baik itu tidak mendapat balasan yang sama. Pakaiannya basah dan kini menjadi sorotan bagi beberapa pengunjung yang juga tengah berteduh. Ugh, Rei benci dengan tatapan penghakiman seperti itu!

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang