Satu loyang pizza yang tak lagi utuh tersaji di atas meja berlapis kaca itu. Di sampingnya, masih banyak bermacam camilan serta minuman kaleng yang beberapa di antaranya sudah tergeletak di lantai karena isinya telah tandas.
"Mau nambah makanan nggak? Katanya lo mau nyanyi sampai pagi. Jadi harus makan banyak, buat stok tenaga," celetuk si tuan rumah.
Hanya pizza berukuran sedang dan beberapa makanan ringan jelas masih kurang untuk lima orang. Sedangkan malam masih cukup panjang untuk dinikmati. Bahkan anak pemilik gitar baru mulai memetik dawainya.
Hari seperti ini adalah salah satu momen yang paling Theo nikmati. Di mana dia akan mengundang beberapa temannya ke rumah, dan bercengkrama ditemani bermacam camilan. Entah itu menyanyi atau membahas soal bermacam kejadian sekolah, Theo tidak peduli. Karena dengan adanya mereka pun, sudah cukup baginya.
"Udah mau jam sepuluh, nih. Emang nggak masalah kalau kita masih di sini?" celetuk gadis berambut pirang yang duduk di lantai.
Namanya Jessie, teman Theo sewaktu SMP dulu. Meski kini berbeda sekolah, mereka masih sering bertemu untuk sekadar nongkrong. Pun dengan tiga orang lainnya, yang juga berada di sekolah berbeda dengan Theo.
Dibilang dekat, tidak juga. Karena mereka berkumpul bukan karena alasan persahabatan yang saling menguatkan. Melainkan hanya ingin menghabiskan waktu akibat sama-sama ditimpa oleh masalah masing-masing.
Theo mengangkat bahu. "No problem, I'm alone," dustanya.
Sebenarnya ada Rei, tetapi Theo melarang bocah itu untuk keluar selama ia dan teman-temannya masih berkumpul. Karena kehadiran anak itu hanya akan menjadi perusak suasana.
Gadis itu terkekeh mendengar jawaban yang Theo lontarkan. "Gue lupa, orang tua kita hobinya 'kan kerja," ucapnya yang mengundang tawa seisi ruangan.
"Dude, I even forgot, when was the last time i saw my parents. Tapi uang saku full terus, haha," timpal cowok berkaus merah yang duduk di samping Theo.
"Oke, gue ambilin dulu. Kalau mau delivery order terserah, nanti biar satpam yang jaga bawa pesanan kalian ke sini," ucap Theo.
Cowok itu bangkit dan berjalan menuju dapur. Membuka lemari di mana ia menyimpan semua persediaan makanan. Benar-benar satu lemari, dan ia juga menguncinya. Karena setiap kali papanya kembali dari perjalanan bisnis, pria itu selalu membawa bermacam makanan yang bahkan Theo tidak bisa menghabiskannya sendiri. Ditambah dengan makanan ringan yang ia beli, membuat Theo tak pernah kehabisan stok.
Ia mengambil beberapa bungkus makanan manis dan asin, serta beberapa kaleng soda dari lemari pendingin. Tak mau repot-repot menggunakan nampan, cowok itu memilih untuk mengangkut semuanya dengan kedua lengan.
Berharap malam ini bisa menjadi malam yang tenang dan menyenangkan untuknya. Namun, apa yang kini tersaji di depan mata membuat cowok itu ternganga.
"Wait, wait! Kalian mau ke mana? Look, I just bring the food," serunya ketika melihat keempat kawannya tampak sudah menenteng tas masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...