Tepat setelah bel tanda jam istirahat dimulai, Rei sudah diseret ke salah satu sudut sepi sekolah oleh gadis yang dua bulan ini menyandang status sebagai kekasihnya. Bahkan kesadaran cowok itu belum terkumpul sepenuhnya karena dipaksa bangun begitu saja.
"Kenapa, sih, Chel? Pake tarik-tarik gitu," tukas lelaki itu sedikit jengkel karena tak diberi kesempatan untuk mengerti dengan situasi yang terjadi.
"Yang kenapa itu lo. Bisa-bisanya nggak dateng padahal gue nungguin lo semaleman! Lo ke mana aja, sih, Rei?"
Gadis itu mengepalkan tangannya dan suaranya terdengar bergetar. Antara marah dan kecewa menyatu. Bagaimana tidak? Semalam Rei sudah setuju akan kencan dengannya, tetapi ketika Chelsea tiba di lokasi, gadis itu hanya menunggu layaknya orang dungu. Rei sama sekali tidak datang hingga tiga jam menjelang.
"Hah?" Rei ternganga, ingatannya ditarik paksa untuk mengulik apa yang terjadi semalam.
Setelah beberapa saat mengingat, cowok itu menepuk dahinya cukup keras dan menggerutu pelan. Mengutuk dirinya sendiri yang benar-benar lupa jika semalam harusnya ia berkencan dengan Chelsea. Namun, alih-alih datang, dia justru belajar hingga larut. Dan kebiasaannya saat belajar adalah mematikan gadget. Bahkan suara musik pun bisa mengusik ketenangannya.
Itulah mengapa Rei lebih suka mengurung diri di kamar dengan pintu terkunci ketika fokus belajar. Akan tetapi, kebiasaan itu tak jarang membawa masalah untuk orang lain maupun diri sendiri. Seperti saat ini, dia melewatkan kencan dengan Chelsea dan mengabaikan semua panggilan dari gadis itu.
"Maaf, gue lupa," lirih cowok itu pada akhirnya.
Chelsea berdecak. "Basi, Rei. Udah nggak terhitung berapa kali lo kasih alasan lupa kayak gini selama kita pacaran. Padahal di awal kita udah saling janji, jalani masa pacaran semanis mungkin. Bahkan gue juga nggak keberatan pacaran sama playboy kayak lo, yang jelas konsekuensinya adalah sakit hati. Tapi apa buktinya?" Ia menatap sinis cowok di depannya.
"Lo sering ingkar janji. Masa dua bulan kita yang harusnya indah kayak mantan-mantan lo sebelumnya ternyata jadi buruk. Gue udah kenyang ngerasain sakit hati. Bukan karena lo putusin, tapi karena sikap lo yang ini," beber Chelsea kali ini dengan suara tercekat akibat menahan tangis.
"Chel, aku bener-bener minta maaf. Sebentar lagi kita kenaikan kelas, aku harus belajar. Nilaiku harus—"
"Iya, harus sempurna. Makanya lo nggak ada waktu buat pacaran, 'kan?" sela gadis itu dengan mata berembun.
Rei akhirnya bungkam dan memilih untuk mendengarkan segala protes dan kekecewaan dari gadisnya. Kali ini, dia mengakui kesalahannya, pun dengan tuduhan-tuduhan yang Chelsea layangkan. Toh, dari awal tujuan Rei menjalin hubungan hanya untuk bersenang-senang. Ia tidak pernah menaruh perasaan serius pada gadis-gadis yang pernah dipacari.
"Oke, aku nggak akan elak kalau aku salah. Jadi mau kamu gimana, Chel? Aku harus apa supaya kamu maafin aku?" pungkas Rei.
Jujur, dia sudah tidak tahu lagi harus seperti apa. Tubuhnya lelah, dan perutnya terus meronta untuk diisi. Sedangkan dia malah terjebak di sini dengan gadis yang berstatus sebagai kekasihnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...