25. [Matheo] Dia yang Paling Menyedihkan

547 56 8
                                    

Omong kosong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Omong kosong.

Hanya itu yang muncul di pikiran Theo setelah mendengar cerita yang dibeberkan oleh Zion semalam. Sebab jika semua yang dikatakan sepupunya itu nyata, lantas mengapa Theo sama sekali tidak memiliki sedikit pun ingatan tentang masa itu?

“Dulu, tuh, meski di awal lo nolak kehadiran Rei sama nyokapnya, tapi seiring berjalannya waktu kalian jadi cukup deket. Kayak kakak-adik pada umumnya. Bahkan lo pernah marah ke gue gara-gara nggak sengaja dorong Rei dan bikin bocah itu lecet.”

Zion terkekeh ketika melihat kedua alis Theo bertaut, sebuah isyarat bahwa bocah itu sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan.

“Demi Tuhan, gue nggak bohong. Tapi karena insiden 'itu', semua berubah. Dan terciptalah situasi sekarang ini,” lanjutnya lagi.

Saat Theo mengungkit tentang insiden yang dimaksud, Zion justru menolak untuk memberitahu. Cowok itu berdalih bahwa ia tak memiliki hak untuk menjelaskan, dan justru meminta Theo untuk menanyakannya langsung pada Samuel.

“Oh, kalo lo nggak mau tanya ke Om Samuel, ada satu cara terakhir. Dig your memories.”

Percakapan mereka berhenti sampai di situ, karena Zion benar-benar tak ingin buka mulut meski Theo sudah mendesaknya. Dan demi apa pun, sekarang ia sangat kesal dengan kakak sepupunya itu. Mengapa Zion harus mengungkap hal yang membuatnya penasaran setengah mati, tetapi tak mau memberi penjelasan?

“Kalo mau sarapan turun sendiri ke dapur, ogah gue bawain makanan ke kamar. I’m not your babysitter,” celetuk Zion dari balik pintu.

Pemuda itu baru saja kembali dari joging ketika mendapati Theo masih terbungkus dengan selimut padahal matahari sudah setinggi tombak.

“Nggak laper juga,” sahut Theo ogah-ogahan.

Bocah itu mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk dan menyambar ponsel di atas nakas. Hari ini bukan hari libur, dan biasanya di waktu seperti ini Theo sudah berada di sekolah untuk sekadar nongkrong di kantin atau merokok di gudang.

Namun, itu dulu, sekarang dia bahkan tidak tahu apakah namanya masih tercantum dalam daftar siswa SMA itu atau sudah tercoreng oleh ulahnya tempo hari. Ah, tetapi Theo tidak peduli, lagi pula belajar di sekolah itu membosankan.

Zion yang semula berdiri di luar akhirnya merangsek masuk. Tanpa banyak bicara, pemuda itu merebut ponsel di genggaman Theo sebelum bocah itu sempat bereaksi.

What the—

“Makan,” titahnya, kemudian memasukkan gawai milik Theo ke dalam saku celana trainingnya. “Sebelum lo mau sarapan, gue nggak akan balikin hape ini.”

Theo berdecak sebal mendengar ancaman yang Zion lontarkan. Akan tetapi, mau tak mau ia menurut, mengekor di belakang Zion hingga ke dapur rumah itu kemudian duduk di salah satu kursi dengan malas. Di seberang meja, Zion tampak sigap mempersiapkan sarapan untuk keduanya.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang