Aku berlari dengan sekuat tenanga. Semua tenaga dari hasil pembakaran sarapan pagi ini, aku kerahkan untuk menggerakkan kakiku. Di depanku Kean telah lebih dulu berpuluh-puluh langkah dariku. Laki-laki itu menoleh sebentar dan berhenti menungguku. Menyambet tasku, dia kembali berlari sambil menarik sedikit tanganku.
"Seharusnya kamu mengikuti kataku, lihat sekarang. Kita terlambat," gerutu Kean. Laki-laki itu dengan cepat menarikku lagi begitu melihat pagar sekolah kami dari kejauhan. Sementara aku merasa sudah tak lagi sanggup untuk mengerahkan tenagaku.
"Tapi aku nggak bisa menggunakan sepeda," jawabku ketika Kean masih mengerutkan wajahnya kesal karena aku malah membuatnya terlambat datang kesekolah. Apalagi ini hari senin, upacara bendera.
"Kan kamu bisa ku bonceng dibelakang. Apa salahnya sih, tinggal duduk doang. Trus pegangan yang kuat," ujarnya dengan kesal. Kean menarik nafas sedikit dan menghembuskannya. Karena kami berbicara sambil berlari. Nafasnya jadi tersendat-sendat dan tanggannya yang menggenggam tanganku juga berkeringat.
"Aku takut jatuh, kamu juga tahu aku pernah jatuh dari sepeda ontel itu dulu. Masih aja memintaku untuk naik."
"Sepeda ontel Autie Maura udah di perbaiki, remnya juga udah bagus kok. Kamu aja yang mudah ciut." Jelas Kean. Aku berhenti dan dengan cepat menghentakkan tangan Kean yang masih menggeggam tanganku.
"Kalau begitu kamu aja yang pergi naik sepeda ontel itu, kenapa harus menungguku. Terus sekarang marah-marah segala," teriakku juga mulai kesal dengan Kean yang melampiaskan kekesalannya padaku. "Udah aku bilang, kita nggak usah singgah ke toko Luna dulu, tapi kamu masih aja bersikeras. Sekarang kamu malah marah marah," ucapku lagi dengan nada masih kesal.
Kean yang terdiam mendengarkan kemarahanku menatap nanar. Sebelum dia sempat mengatakan sesuatu. Seseorang berlari dengan kecepatan penuh, menghapiri kami. Ternyata Denis.
"Woi, ngapain bengong disini. Bentar lagi gerbang ditutup. Buruan!" katanya dan menarik kami berdua bersamaan.
Aku dan Kean kembali melanjutkan lari kami, dengan Denis yang menyeret kami berdua.
***
"Jadi? Kamu putus lagi?" tanya Denis begitu dia mendudukan diri di depan kami. Aku menyeruput kuah soto dan memilih diam. Sebelumnya aku juga sudah mencerca Kean seperti itu. Jadi sekarang giliran Denis. Kean menjawab hanya dengan anggukan. Denis kembali membuka botol sprite nya dan meneguknya sebanyak yang dia bisa, sebelum terkekeh dan menatap Kean.
"Apa Micha tempat buangan para ex-girlfirend mu?" kata Denis. "Berhenti buat masalah untuk dia, kamu nggak lihat gadis lemah ini sudah kenyang menghadapi masalah yang disebabkan para gadis-gadis kurang kasih sayang itu." Lanjut Denis, Kean hanya mangut-mangut saja.
Melihat Kean yang tak menaggapi sesuai keinginannya, laki-laki itu kembali melanjutkan, "liat, liat, dia bahkan tambah kurusan sekarang," teriak Denis. Dia mencubit pipiku yang sedang gembung karena makanan. "Liat pipi ini, tak berlemak," katanya.
Dan seketika itu juga, Kean menepis tangan Denis yang mencubitku. Lalu laki-laki itu menatap tajam pada Denis. "Dia lagi makan, jangan diganggu," katanya dan meyerahkan satu telur utuh ke dalam mangkuk makananku. Dia juga mengambil tisu dan mengelap sedikit mulutku yang cemong karena tindakan Denis barusan.
"Ck, ck, ck, apa satu telur aja cukup buat upah dia menolong kamu selama ini. Kean, kamu harusnya perlakukan dia lebih baik," kata Denis dan mengusap kepalaku dengan lembut. Sontan saja Kean melotot dan menggeram kearah Denis. Tapi laki-laki itu mana peduli dengan pandangan Kean. Yang terpenting bagi Denis adalah mengeluarkan semua raut wajah manusia dari Kean. Karena Kean selalu memasang wajah datarnya dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun. Makanya, Denis si pencari masalah ini selalu berusaha menghalalkan segala cara hanya untuk mengejek dan mengolok olok Kean.
Aku menepis tangan Denis. Lalu bangkit dari tempat dudukku. "Aku udah selesai, duluan ya." Ucapku dan melangkah kembali ke kelas.
"Eh, Micha. Jangan tinggalin aku dengan Manusia Es ini dong." Teriak Denis. Tapi aku masih melangkah ke luar kantin.
Dan tiba-tiba seseorang menjambak rambutku dari belakang. Suara benda pencah memenuhi ruangan, karena mangkuk sotoku terbang akibat aksi seseorang yang menarikku begitu kuat. Aku dengan cepat menangkap tangan yang menjambak rambut ekor kudaku. Menekannya dengan kuat hingga seseorang mengaduk kesakitan.
Saat itulah, aku sadar ternyata yang menjambak rambutku adalah Luna. Ex-girlfried nya Kean yang baru diputisinnya pagi tadi. Yang juga menjadi penyebab aku nyaris terlambat pagi ini.
"Lo, apa yang disukai Kean dari cewek kayak lo?" teriakknya karena tak cukup kuat untuk adu kekuatan denganku. "Lo udah buat Kean putusin gue, tapi masih aja pura-pura suci." Teriaknya yang membuat seisi kantin menonton kami.
"Lo putus dengan Kean, itu nggak ada hubungannya denganku." Jawabku dan melepaskan tangganya yang mulai memerah karena genggamanku. Begitu tangan itu terlepas, dia menamparku di pipi. Teriakan syok terdengar dari seluruh penjuru kantin.
Dan suara Denis dan Kean juga terdengar dari sudut ruangan. "Gue sudah bilang, lo putus dengan Kean itu nggak ada hubungannya denganku. Jangan menjadikanku kambing hitam dengan semua ilusi yang lo tanam tentang Kean selama ini." Kataku tegas. "Lo udah tahu track record Kean selama ini, tapi masih menaruh hati padanya. Itu salah lo sendiri, nggak jaga baik-baik perasaan lo. Jadi jangan salahin gue, kalau Kean tiba-tiba putisin lo," lanjutku dan membuat gadis itu menangis.
Tapi pertunjukan tentu tidak sampai disana, karena beberapa teman-teman gadis itu mulai mendorongku dan menjambak kembali rambutku. Hingga Kean dan Dimas melerai mereka.
"Berhenti," teriak Kean dan membuat semua orang berhenti setelah mendengar suaranya. Kean mendekat kearahku. Mengangkat sedikit daguku, memeriksa apakah ada luka. Dia memutar ke kiri dan ke kanan wajahku lalu merapikan rambutku yang berantakan.
Menonton itu, semua teman-teman dan Luna mendecakkan lidah tak setuju.
"Bukankah aku sudah bilang alasan kita putus pagi ini, apa-apaan dengan bullying ini," ucap Kean dengan nada tegas dan juga raut wajah menahan marah.
"Kean, jika kamu begitu menghargai perempuan sok suci ini. Kenapa harus bilang suka padaku. Jelas-jelas gadis ini yang merembutmu dariku," teriak Luna yang mulai kesal. "Nggak sekalian aja kalian pacaran, nggak usah umbar umbar kemesraan disini dan menamainya pertemanan," kata Luna dan berbalik sambil menangis. Sedangkan teman-temannya mengikutinya sambil melirik kesal padaku.
"Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?" tanya Kean, sarat dengan nada khawatir. Dia merangkulku sedikit untuk menyeretku duduk di salah satu bangku kantin. Tapi aku menepis tangannya dan menatap tajam padanya.
"Ini yang terakhir Ke, untuk selanjutnya. Jangan jadikan aku bantal untuk hubunganmu lagi," jawabku dengan nada lirih. Aku kemudian melangkah keluar dari kantin.
Sementara Kean terpaku ditempat seolah-olah baru menyadari sesuatu.
***
Jangan lupa vote and comment nya ya
Terima kasih atas dukungan pembaca selama ini.
Salam, Chocomellow
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
RomanceHai, namaku Adresia Michael Polliton. Hiduku awalnya biasa biasa saja, hingga aku dipindahkan ke kantor pusat dan bekerja sebagai sekretaris dari bos lucknut. Keano Adrana Shagufta. Pria bengis. Berhati dingin. Si Perfeksionis yang minta di di kun...