Sambil menyeret kakiku yang terasa semakin lemas, aku berdoa dalam hati. Semoga makan malam ini lancar. Aku juga sudah menyiapkan obat pencernaan untuk membantukku tetap bisa mencerna dan menelan makanan di rumah ini.
'Ya tuhan, selamatkan hamba malam ini. Hamba ingin keluar dengan kepala utuh di leher ya tuhan,' do'a ku dalam hati.
Sedari tadi hanya kalimat ini yang aku rapalkan seperti mantra ajaib yang akan membantuku keluar dari neraka jahanam ini. Kean yang memperhatikan langkah tegangku, melirik dengan mata geli.
Tak berapa lama, bahu Kean terlihat bergetar, menahan tawa. Aku menyorot tajam kearah Kean yang mulai menyemburkan tawanya di taman menuju pintu rumahnya.
"Telan lagi, tawa itu." Perintahku tegas kearah Kean yang menggiggit tangannya untuk tak tertawa setelah melihat tatapan tajamku padanya.
Setelah beberapa saat, Kean akhirnya tenang.
"Apa kamu yakin bisa melangkah kesana?" tanya Kean.
"Hm, perlu aku bantu," kata Kean sambil berusaha menekan tawanya saat mengatakan itu.
Aku cemberut menanggapi perkataan Kean. Kemudian kembali melanjutkan langkah gontaiku. Pada akhirnya Kean menyusulku dan menggenggam tanganku. Kami masuk ke dalam bersama-sama. Begitu pintu terbuka, ada beberapa pelayan yang menyambut kami. Lalu mengarahkan kami ke ruang tamu yang super luas. Disana sudah ada kakek, papa dan mama Kean serta Kenrick.
Kakek terlihat sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Tak ada perubahan signifikan dari wajahnya yang masih sama datarnya dengan Kean. Hanya saja, sekarang kepalanya ditutupi salju putih yang membuatnya terlihat bertambah dingin. Aku menelan ludah gugup mendapat pandangan dari semua orang.
Papa Kean juga menatapku, menelusuriku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sedangkan mama Kean terlihat menatap dengan ekspresi lembut khas orang tua pada umumnya. Berbeda dengan suasana di ruang tamu yang terasa dingin. Kenrick malah tersenyum nakal kearahku dan mengedipkan matanya menggodaku yang terlihat kaku disamping Kean. Menyaksikan adiknya menggodaku, Kean memplototinya dengan tajam. Hingga laki-laki pemilik restoran seantero jabodetabek itu terkikik geli.
Kakek berdiri dari sofa yang ada diruang tamu. Melangkah kearahku. Aku menatap gugup Kakek yang semakin mendekat.
"Michael," panggilnya dengan nada bersahabat. Aku menatap tercengang kakek yang menatap hangat padaku yang ada didepannya.
Permasaalahannya adalah saat pertama kali aku bertemu dengan kakek, hanya sikap dingin dan tegas yang di perlihatkannya. Apalagi aku meninggalkan kesan memberontak dan kasar ketika terakhir kali bertemu dengannya. Jadi aku tak menyangka kakek akan menyambutku dengan nada hangat dan senyum ramah seperti ini. Lepas dari keterkejutanku. Aku langsung menyapa beliau dengan keramahan yang sama.
"Selamat malam, kek. Bagaimana kabar anda?" tanyaku berusaha menekan keterkejutanku dan kegugupan yang sedari tadi menggerogoti mentalku.
"Jangan terlalu formal...." Katanya. Lalu dia menelitiku dari atas hingga bawah seperti yang dilakukan oleh papa Kean beberapa saat yang lalu. "Kamu sudah besar sekarang," tuturnya dan mengulurkan tangannya padaku.
Aku menyambut tangan kakek dengan ragu-ragu. Tapi akhirnya aku menggegam tangan yang penuh keriput itu dengan hangat.
"Saya besar, tampa kekurangan sesuatu apapun." Kataku dan disusul oleh ledakan tawa dari pria tua itu.
Aku menyaksikan itu dengan wajah berkerut. Tak mengerti dimana dari kalimatku barusan yang terdengar lucu. Begitu aku menoleh kearah Kean dengan pandangan bingung, laki-laki disampingku hanya menatap bosan kakek yang masih sibuk mengatur napasnya setelah tertawa terbahak-bahak seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
RomanceHai, namaku Adresia Michael Polliton. Hiduku awalnya biasa biasa saja, hingga aku dipindahkan ke kantor pusat dan bekerja sebagai sekretaris dari bos lucknut. Keano Adrana Shagufta. Pria bengis. Berhati dingin. Si Perfeksionis yang minta di di kun...