bag. 17

81 13 1
                                    

"Jadi?"

Sudah lebih dari satu jam Sasuke serta Naruto dan Kiba yang dipaksa ikut berada di sebuah kafe yang dipilih secara random dan disepakati melalui chat semalam. Setelah kedua orang yang berurusan itu selesai mendebatkan kehadiran Kiba tidak ada suara yang kunjung terdengar.

Kiba hanya menonton jengah keduanya. Seseorang tolong katakan apa fungsinya disini sekarang? Setelah Naruto berhasil mempertahankan pendapatnya untuk membiarkan Kiba berada diantara Sasuke dan Naruto, belum ada tanda tanda Sasuke memberitahu tujuannya atau Naruto yang mempertanyakan keputusan Sasuke yang mengajak keduanya bertemu.

Sasuke tidak memperdulikan Kiba. Dia masih setia diam dan memperhatikan Naruto. Tiba tiba sebuah tumpukan map dijatuhkan di meja tempat Sasuke, Naruto dan Kiba berada. Tidak banyak, hanya hanya tiga map dengan warna yang sama.

Sasuke mengangkat kepalanya kearah orang yang menaruh map itu. "Arigatou nii-san"

"Kamu mengumpulkan ini sendirian? Hebat sekali. Aku tadi sudah membacanya." Itachi yang baru datang langsung mendudukkan dirinya dikursi kosong yang tersedia dihadapan Kiba.

"Dan, Naru-Chan terima kasih untuk kesempatan yang jarang kamu berikan. Akhir akhir ini tingkahnya jadi lebih baik."

Naruto yang mulai membaca berkas menurunkan berkasnya agar dapat melihat wajah itachi. Yang mengajaknya bicara. Jadi benar Sasuke sering bertingkat aneh? Wah, hebat sekali insting Naruto.

Tidak ada kata yang keluar bibir merah Naruto. Tapi senyum yang manis terbit dikedua sudut bibirnya. Bukan senyum senang dan sebagainya, Itachi tentu tahu itu. Gadis di depannya hanya mengumbar senyum manis pada orang yang dianggap musuhnya. Apa itu berarti dia harus waspada sekarang?

"Kamu ikut menyelidiki si Ular ular itu!? Bukankah kamu bilang tidak ikut?"

"Awalnya begitu, tapi melihat otouto ku terlibat mungkin akan terjadi masalah bukan?!"

"Cih, Brother complex" gumaan Naruto sedikit yang dengan. Dia sengaja mengecilkan volume suaranya.

Itachi, orang yang menurut Naruto sangat sangat menyayangi adiknya melebihi orang tuanya sendiri. Bisa melakukan apa saja yang menurutnya benar jika itu ada sangkut pautnya dengan Sasuke, sang adik. Entah apa yang akan dilakukan pria itu jika Sasuke kecilnya terluka atau bahkan yang lebih buruk tiada? Naruto tentu tidak bisa membayangkan atau bahkan menginginkan kemungkinan itu terjadi.

"Jadi, apa kesimpulanmu setelah membacanya?" Naruto meletakkan kembali berkas berkas yang telah dilihatnya. Percayalah, dia tidak benar benar membaca itu. Melihat tulisannya saja Naruto sudah enggan apalagi membacanya.

Tapi dari ucapan Naruto yang Kiba anggap hanya main main, menciptakan suasana yang cukup serius. Itachi yang baru datang jadi lebih banyak bicara dengan tegas. Berbeda sekali dengan yang pernah Kiba lihat beberapa kali saat menemani Naruto ke kantor polisi. Sasuke juga sesekali menimpali.

Kiba? Dia hanya diam dan mendengarkan. Sampai saat ini Kiba tidak pernah paham akan dunia per teroris-an seperti ini. Sesekali ikut pun karena arahan Naruto. Dari pada mengacau lebih baik diam, bukan? Ingat kata kata 'diam bukan berarti bisu' dan Kiba sedang menerapkannya sekarang.

Sudah hampir lewat jam makan siang sejak waktu janjian jam delapan. Jika Naruto tidak segera pulang bisa terjadi perang dunia ke empat nanti. Tsunade terlalu mengerikan saat marah apalagi jika yang membuatnya marah adalah pembahasan soal umurnya yang sudah cukup usia, jika tidak ingin disebut tua. Dengan terpaksa Kiba menyela

"Maaf, Naruto sepertinya kita harus segera pulang"

Kiba melihat Naruto yang melihat jam di ponselnya sebelum berdiri dengan buru buru. Setelah itu rentetan ucapan terucap dari bibir manisnya. Ah haruskah Kiba tidak mengingatkan tadi? Jika sudah mengingatkan saja masih kena semprot, bagaimana jika Kiba benar benar tidak bicara?

Untung saja kafe tempat mereka berkumpul dekat dengan rumah Naruto. Saat Naruto sampai pun Tsunade belum terdengar memanggil namanya. Itu berarti dia belum terlambat? Syukurlah.

Tapi sepertinya dewi Fortuner masih belum memihaknya.
"Dari mana saja Kamu?!"

Suara penuh nada ancaman terdengar dikedua gendang telinga Naruto. Dengan gerakan patah patah Naruto melihat kesamping tepat dimana ruang makan berada. Disana. Tepat di pintu masuk ruang makan ibu atau mungkin neneknya berdiri berkacak pinggang. Tiba tiba saja ludahnya terasa berat untuk ditelan.


Wah dah lumayan lama ya. Setelah seminggu full tidak ada kesempatan megang ponsel. Akhirnya bisa selesai juga ketikan satu bab ini meskipun ala kadarnya.

Tetap tunggu ya kelanjutannya

two (three) optionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang