bag. 28

82 11 3
                                    

Deg! Deg!

Deg! Deg!

Dia tahu betul tulisan apa yang tertera di kertas yang dilihatnya. Dia sering melihat hal serupa dirumah.

Apa ini? Kenapa bisa namanya yang tertera sebagai anak? Dan kenapa…

Kenapa harus mereka? Jika orang itu tidak mampu, mungkin dia bisa memakluminya. Tapi kenapa…

Orang ini bukan hanya mampu, bahkan jika mereka mau, mereka bisa menguasai perekonomian kota ini. Bagaimana mungkin mereka tega meninggalkan anak kecil di tengah jalan sendiri?

Anak yang bahkan berjalan saja belum sanggup. Ditinggalkan sendirian ditengah jalan yang memungkinkan untuk truk menghancurkannya menjadi bubur.

Entah apa yang terjadi jika orang tua angkatnya tidak memungutnya saat itu. Mungkin keberadaannya saat ini masih dipertanyakan.

Berbagai pertanyaan 'kenapa' memenuhi kepala kecilnya. Berbagai perasaan pun merasukinya bersamaan.

Senang…

Terharu…

Kecewa…

Marah…

Dan banyak lagi hingga Naruto tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Terlalu beragam hingga susah dijabarkan.

"Maaf Ruko Nee-san, Aku lupa ada tugas yang belum Aku kerjakan. Aku harus pulang sebelum si Tua itu mengamuk nanti," terselip nada candaan dalam suaranya. Namun Naruko sebagai lawan bicara tidak merasakannya. Gadis itu merasa, bukan ini yang ingin di sampaikan oleh Naruto.

Mata Naruto memindai sekelilingnya. "Dan… rumahmu bagus, Aku akan datang lagi lain kali," ujarnya sebelum benar benar pamit.

Belum juga sampai pintu, tangannya lebih dahulu ada yang menahan. Naruto membalik badannya untuk melihat siapa yang berani menahannya.

Nada dingin benar benar terasa saat Naruto berujar dengan marah, "Lepaskan tanganku, Tuan siapa pun namamu."

Bukannya melepaskan, Kurama malah semakin mengeratkan pegangannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa harus menahan gadis dalam genggamannya ini.

Sret!

Bruk!

Argh!

Naruto yang marah tidak tahan untuk membanting tubuh orang yang menahannya ke lantai. Gadis itu mendekatkan bibirnya ke telinga orang dibawahnya tanpa mempedulikan jeritan satu satunya wanita disana.

"Dengar ini baik baik. Tanpa senjata Aku adalah petarung jarak dekat yang baik. Jangan lengah jika ingin selamat berada di dekatku dengan tangan kosong."

Merasakan sensasi nyeri, Naruto melirik bekas luka tembak yang belum benar benar kering. Aah… sial, untuk gerakan kecil seperti ini saja sudah terbuka.

"Lukamu terbuka, biar Ak_"

Naruto menghindari tangan Minato yang terulur. Minato membiarkan tangannya menggantung beberapa saat.

"Itu berarti Aku benar benar harus pergi sebelum seseorang mengambil sampel ku diam diam." Tatapan tajam Naruto berikan kepada Minato.

Naruto melangkah menuju pintu. Namun suara gadis yang telah dihafalnya menghentikan langkah Naruto, lagi.

"Tunggu didepan Aku akan meminta supir untuk mengantarkan Kamu."

"Terserah, tapi…" Naruto melirik kotak yang dibawa Naruko. "Itu untuk apa?"

"Bukankah lukamu perlu untuk diobati, kalau tidak Oba-san Tua itu akan marah besar nanti."

.

.

.

"Aku tidak tahu apa yang Kamu dan Chichi bicarakan, tapi Kalian terlihat serius tadi. Dan Kamu terlihat marah."

Naruko selesai membalut ulang luka Naruto. Gadis itu merapikan kotak obat yang dibawanya dan meletakkannya diatas pangkuannya. Hanya deru mesin yang mengisi jeda yang dibuat Naruko.

"Maaf, Aku mewakili Chichi untuk minta maaf padamu, maaf, maaf, maaf."

"Jangan minta maaf, Kamu tidak salah. Dan Aku tidak marah padamu."

Naruko tertegun mendengar jawaban Naruto. "Itu berarti Kamu masih mau berteman denganku?"

"Kenapa tidak?! Atau Kamu yang tidak ingin berteman lagi denganku, Nee-san."

Sementara itu, dikediaman Keluarga Namikaze. Kushina menangis didalam pelukan Minato. Dia takut Naruto tidak bisa menerima mereka. Melihat kebencian yang terkuar dari tatapan putrinya yang telah lama hilang.

Kurama memungut kertas yang teronggok tak diperhatikan. Kertas yang sama dengan yang telah membuat gadis yang mirip dengan adiknya mengeluarkan reaksi permusuhan.

Mata kurama terpaku pada tulisan 'probabilitas Namikaze Minato sebagai ayah biologis dari Naruto sebagai anak adalah 98,97%…'

"Jadi… dia, Naru,"

Tanpa berpikir panjang Kurama juga memutar tubuhnya. Menghampiri mobilnya yang masih terparkir didepan. Setelah mobil menyalakan barulah Kurama merasa bodoh.

Kemana Aku harus mencarinya?

Ruko, Ruko pasti tahu dimana rumahnya.

Apakah Ruko membawa ponselnya?

Sial…

Seolah mendapatkan secercah harapan. Nama seseorang yang telah menjadi temannya sejak kecil terlintas di kepalanya.

"Iya, dia pasti bisa membantuku."

.

.

.

"Untuk apa Kau mencari wanita gila itu?" Dengan santai pria itu mengangkat cangkir teh yang memang ingin diminumnya sebelum temannya datang.

"Eem… urusan keluarga. Aku tidak harus menyebutkannya kan? Dan mendengar Kamu punya julukan untuk Naru, sepertinya Kamu mengenalnya."

"Untuk pernyataanmu yang terakhir. Sialnya itu benar dan akhir akhir ini Aku ingin mencekik lehernya. Jadi Aku tidak ingin kesana hari ini." Pria itu meminum kembali tehnya memberikan jeda pada ucapannya.
"Kalau Kamu benar benar ingin bertemu dengannya Aku bisa memberitahu alamatnya tapi cari sendiri."

Belum juga dia mengucapkan alamat saudaranya yang melewatinya menghentikan kata kata pria itu. "Mau kemana Kamu, Sasuke."

"Tidak mungkin Aniki tidak tahu tujuanku." Tanpa berhenti Sasuke menjawab pertanyaan kakaknya.

"Nah, inilah yang membuatku ingin membunuh wanita itu. Otouto Kecilku jadi sering keluar setelah pulang sekolah hanya untuk bermain kerumahnya." Itachi melirik Kurama, temannya yang datang tiba tiba. Wajahnya mengelap, cukup aneh tapi Itachi tidak peduli.

"Tunggu apa lagi, ikuti saja dia, jangan ganggu waktu istirahatku." Pandangan Itachi mengikuti langkah Kurama yang mulai menyusul adiknya tanpa repot repot Itachi antar keluar.

"Menyebalkan, memangnya apa yang telah wanita itu lakukan sampai bisa menggaet dua pria yang dekat denganku."

Insyaallah satu bab lagi end kawan yeeeee

two (three) optionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang