"Kak Nevan masih sekolah?" pertanyaan Azell terlontar saat Nevan bahkan baru melajukan mobilnya sepuluh menit lalu.
"Iya, Kakak udah kelas 3 SMA sekarang," jawab Nevan dengan tetap fokus menyetir. Entah alasannya apa, tapi senyum Azell terbit begitu manisnya.
"Pantesan badan Kakak gede, kayak kakak kelas di sekolah Azell, semuanya tinggi dan gede-gede badannya."
Suara kekehan khas anak kecilnya menjadi alunan paling indah di mobil itu. Nevan tak bisa menahan gemas, ingin sekali membelokkan setir dengan sembarang; menabrak trotoar pun tak apa asal rasa gemasnya tersalurkan.
"Iya, Azellnya yang terlalu kecil, kali, ya," Nevan memelankan laju mobilnya lalu berhenti saat melihat tanda lampu merah. "Hmmmm...Azell mau, kan, tinggal di rumah Papa Niko? Sama Kakak sama Mama Lilian juga," tanyanya kemudian.
"Sama Kak Dhito, kan?"
Nevan terdiam. Pertanyaan Azell, yang dia tangkap bukanlah pertanyaan melainkan permintaan. Dhito saja belum tentu mengizinkan, apalagi mau tinggal bareng. Terlalu tidak mungkin.
Maka ia memilih menghela napasnya,"kalo kakak kamu ngga ikut, kamu juga ngga bakal, Zell."
Nevan kembali melajukan mobilnya, rasa-rasanya semua bayangan-bayangan indah yang menjadi ekspektasinya paling tinggi akan selamanya menjadi khayalan. Azell itu mood booster banget, bakal menyenangkan kalau ada anak itu disekitarnya dalam waktu lama; bukan satu atau dua tahun, tapi selamanya. Namun itu mungkin tidak akan terjadi.
Dan mungkin juga, selamanya Nevan akan tetap menjadi anak tunggal yang kesepian, selalu merasa bosan, hampa, akan, belum, atau sudah mati? tidak, Nevan yang hanya ingin membunuh rasa sepi itu. Terlalu menyakiti hati dan pikirannya.
"Kak Dhito pasti mau, kok. Kalo ngga mau, nanti Azell tinggal nangis aja biar diturutin hehe.."
Nevan menyempatkan diri untuk sekedar mencubit pipi gembil Azell lalu menggoyang-goyangkannya sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan yang pagi ini terlalu ramai untuk diabaikan.
"Diajarin siapa kayak gitu, hm?"
"Rayna sama Kak Rangg--" Azell berhenti. Tidak jadi melanjutkan kalimatnya saat mengingat bahwa dirinya habis diculik secara halus sama seseorang yang namanya hampir ia sebutkan. Bagaikan sebuah pamali, Azell enggan menyuarakan nama itu lagi.
Nevan tak menyadarinya, ia masih sibuk memarkirkan mobilnya di depan pekarangan rumah Azell yang tak terasa sudah di depan mata.
"Zell? Ngga mau turun?" Azell terkejut lalu segera tersadar dari kediaman nya. Entah mendiami apa, entah memikirkan apa. Memangnya anak kecil udah punya beban pikiran? Bercanda Zell.
Seketika Azell antusias. Tapi hanya sebentar karena setelah itu senyumnya pudar. Melihat dinding bagian depan rumahnya kini berwarna cokelat, padahal kan kemarin-kemarin warnanya lylac.
Adeknya ilang sempet-sempetnya ganti cat. Batinnya.
"Kenapa, sih?"
"Iam Azell, iam okay," jawabnya mantap kek sok tegar gitu kan. Padahal mah mau nangis.
Nevan tiba-tiba merinding. Apa mungkin Azell kerasukan arwah yang barangkali penasaran dengan makhluk menggemaskan kayak Azell gini.
Mereka turun, Nevan menggenggam tangan mungil Azell sembari berjalan. Entah kenapa, menggandeng Azell menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan plus membuat hatinya menghangat saat anak manis itu menggenggamnya balik.
Tanpa mengetuk terlebih dahulu atau sekedar 'punten go food', mereka langsung membuka pintu yang memiliki dua sisi itu. Pemandangan pertama yang jadi pusat mata, adalah Dhito dan Bara yang lagi duduk di sofa sambil mengutak-atik laptop entah mencari apa. Tapi mereka juga langsung berdiri saat melihat adik kecilnya berada digandengan orang lain, rasanya sakit, perih banget cuy kek lo semua harus tau itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY BROTHER [END]
Randomhanya sedikit cerita tentang kegilaan seorang kakak kepada adik laki-lakinya. ;Not BXB just Brothership 17+ Bijaklah dalam memilih bacaan⚠️ start: 28 Mei 2022-16 april 2024