Malam hari datang lagi, Lili dan Niko pulang. Di sambut Azell yang sedang duduk di karpet berbulu bersandar selangkangan Dhito. Tak jauh dari sana ada Bara yang sedang merokok dengan santai padahal sudah dilarang keras di rumah bak rumah sakit ini agar tidak ada asap apapun. Nevan yang sudak muak pun tak peduli, ia ikut duduk bersedekap di depan Azell yang sedang menyusun puzzle.
Mereka solah tak punya antusias untuk menyambut orang tuanya yang baru balik dari tadi pagi.
"Kalian udah makan malem?" Pertanyaan hangat itu terlontar dari perempuan di samping Nikolas, tanpa melupakan senyumannya walau yang menjawab hanya Nevan seorang. Itu pun tanpa menatapnya. Namun ia tak menyerah semudah itu.
"Mama bawa makanan, loh," ucapnya lagi kini sembari mengangkat dua kantong plastik di tangannya.
"Kita udah makan, kok, Ma," jawab Dhito. Senyum Lili dipertahankan, tatapan teduh Dhito seolah menghangatkan hatinya.
"Ya sudah, buat besok, deh." Wanita itu pergi menuju dapur, makanan yang ia beli hanya berakhir di lemari pendingin.
Kini Nikolas mendekat, duduk di sebelah Dhito, mengelus kepala Azell sejenak yang sama sekali tak terganggu seolah dia hidup hanya untuk menyusun puzzle.
"Oh iya, Zell, tadi Papa mampir ke sekolah milik temen Papa. Kira-kira Azell mau, ngga, sekolah lagi, di sana?"
Mendengar itu membuat Azell bersemangat, membalikkan badan menatap Nikolas sepenuhnya dengan wajah berbinar-binar.
"Mau, Azell mau---"
"NGGA!"
Bara berteriak, tak mengizinkan Azell menyelesaikan perkataannya. Rokoknya ia matikan segera dan menghampiri mereka.
"Papa ngga bisa bikin keputusan tanpa mikir resiko kedepannya."
Alis Niko terangkat, "resiko?"
Bara terdiam beberapa saat. Ia hanya takut kejadian-kejadian tak mengenakan kembali terulang. Ia takut Azell dibawa pergi lagi, ia takut Azell bertemu kembali dengan Rangga walaupun Rangga sudah sempat berbaikan dengannya itu tidak menutup kemungkinan untuk Rangga mengulangi kesalahan yang sama.
"Orang tua yang hobinya nelantarin anak mana tau. Apa-apa yang nimpa Azell, Papa tau? Ngga, kan?"
"Kamu kok kayak menyimpang dari topik, ya, Bar?"
"Pokoknya gue ngga bolehin Azell sekolah, di manapun itu."
Selesainya Bara menghabiskan kalimat, Azell serasa hilang harapan. Senyumnya hilang, padahal baru saja ia membayangkan gimana serunya kembali ke bangku SMA yang sempat ia tinggalkan gitu aja.
Kangen Rayna, kangen obrolan tak bergunanya dengan anak itu. Dan kangen Rangga juga, sih, sedikit.
Hal itu cukup membuat hati mungil Azell tercubit. Matanya mulai berkaca-kaca, dan seperti biasa; Azell sudah memulai tangisannya dengan senggukan kecil.
"T-tapi Azell kan..pengen sekolah," lirihnya. Semua mendengar Bara langsung menatapnya tajam saat itu juga, membuat Azell makin menderaskan air matanya sambil membuat raut muka sedih.
Dhito menepuk-nepuk pipi Azell yang basah, "ssstttt, udah, ngga usah nangis," ucapnya pelan sebelum kemudian memandang Bara dengan tatapan yang tak kalah tajam. "Lo juga udah! Ngga usah bikin suasana panas."
"Dih. Udah, Dek, ayo tidur." Uluran tangan Bara ditolak Azell, anak itu lebih memilih membalikkan badan memunggungi Bara. Hal itu tak disia-siakan oleh Nevan, bagai mendapat mainan baru, lelaki itu tersenyum sangat manis.
"Ke kamar yuk, Zell, sama Kakak. Mau?"
Dua detik tak ada jawaban, membuat Nevan sedikit gelisah. Menunggu Azell yang kini sedang menyeka ingusnya yang sedari tadi ia tarik agar tidak keluar. Namun Nevan dibuat kembali tersenyum setelah Azell menganggukkan kepala dengan kedua tangannya yang diulurkan terbuka, kode minta gendong.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY BROTHER [END]
Randomhanya sedikit cerita tentang kegilaan seorang kakak kepada adik laki-lakinya. ;Not BXB just Brothership 17+ Bijaklah dalam memilih bacaan⚠️ start: 28 Mei 2022-16 april 2024