Bara terbangun dengan keadaan jauh dari kata baik. Bahkan awan cerah dibalik jendelanya seolah tak menggoda, tak membuatnya ikut cerah juga.
Dengan perlahan ia bangkit dari ranjang yang sudah dua hari ini ia tiduri. Sama dengan seprei nya, baju yang kini ia kenakan pun belum diganti. Lusuh, seperti pemiliknya.
Oh iya, bagian alat kelamin Bara juga masih sakit, btw. Sedikit membengkak, berwarna ungu dan sangat sakit jika sedang pipis. Segitu tersiksanya Bara saat ini.
Lelaki itu hanya berdiri, bersandar pada jendela kamarnya yang tertutup rapat, ia mengamati pintu kamarnya yang juga sudah dikunci dari luar oleh kakaknya sendiri. Dan kini Bara sedang menanti orang itu yang biasanya setiap jam tujuh pagi akan bertandang ke kamarnya. Itu artinya sebentar lagi.
Dan benar, setelah mendengar suara ceklikan kunci selama dua kali, barulah pintu terbuka bersama dengan Dhito yang membawa nampan berisi nasi uduk dan segelas air bening. Tanpa bertatapan dengan adiknya, dia letakkan makanan itu di atas nakas yang di sana sudah ada empat piring makanan berbeda yang terlihat sama sekali belum disentuh. Namun Dhito abai, sudah terlalu muak untuk sekedar memberikan perhatian pada Bara.
Mau dimakan atau tidak, Dhito tidak perduli. Yang terpenting dia sudah memberikan makanan.
Pada saat mau berbalik, Bara memanggilnya dengan suara lirih dan serak.
"Kak.."
Dhito tetap abai, ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti sebelum suara Bara terdengar lagi.
"G-gue minta maaf.." entah ini kalimat keberapa yang sudah Bara katakan. Kata yang sama, di jam yang sama, seperti menjadi rutinitas baru baginya.
Itu membuat Dhito berhenti, menatapnya dengan nyalang, ia meraih gelas yang tadi ia letakkan di nakas hanya untuk dilemparkan tepat ke arah Bara berdiri. Sekitar satu jengkal jarak mereka, Bara tak sedikitpun bergerak, ia juga terlampau lelah untuk menghindar.
Bersyukurnya, gelas itu meleset. Jatuh di samping kakinya. Tangan berurat itu bergetar, biasanya setelah mengucapkan kata maaf Bara akan menerima makian yang dibarengi tamparan, tapi kali ini Dhito melemparinya dengan gelas kaca. Apa wajah Bara yang penuh memar ini masih belum cukup? Apa harus ada darah di sana?
"Jangan bikin rumah ini bau bangkai. Makan aja dan jangan banyak omong!" Ada sedikit rasa sakit di hati Bara kala perkataan itu keluar dari mulut Dhito.
Sosok yang sangat dibanggakan oleh Azell karena sifatnya yang lemah lembut, perhatian, penuh kasih sayang, sekarang apa? Bara bahkan seolah-olah mencari dimana sosok Dhito yang dulu? Apa jadinya jika Azell melihat ini? Dhito yang sekarang jadi orang yang sangat pemarah, kasar, bermulut tajam, tatapannya mengerikan.
"G-gue m-mau k-ketemu Azell," pintanya dengan tercekat. Lidahnya kaku, tenggorokannya kering karena memang dengan gilanya anak itu tidak menyentuh makanan dan minuman yang Dhito berikan.
Dhito tersenyum remeh, ia menghampiri Bara lalu segera menarik rambutnya dengan keras sampai anak itu mendongak menatapnya.
"Kalo lo bisa bikin Azell lupa sama semua yang udah lo lakuin ke dia, temuin!" Dhito menarik rambut Bara semakin kencang dengan sengaja sampai kepalanya berbenturan dengan jendela dibelakangnya. "Udah bikin adek sendiri kotor, masih berani nemuin?! Hahahaha, orang lain mah udah bunuh diri kali!"
Bara menatap Dhito dengan tatapan memelas, melupakan kepalanya yang pening, bibir pucatnya kembali berucap. "Gue mohon...s-seenggaknya sebelum gue mati, g-gue ketemu Azel---"
"JANGAN MIMPI!"
Bruk!
Rambut itu semakin Dhito tarik lalu didorongnya Bara sampai tubuhnya menabrak ranjang dengan keras. Anak itu meringis, luka kemarin saja belum sembuh, ini sudah ditambah lagi. Namun rasa sakitnya tertutup oleh rasa bersalah, yang juga membuatnya tak ingin melawan. Ia akan tetap membiarkan tubuhnya habis disakiti oleh Dhito, anggap saja hukuman atas dosa-dosanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY BROTHER [END]
Randomhanya sedikit cerita tentang kegilaan seorang kakak kepada adik laki-lakinya. ;Not BXB just Brothership 17+ Bijaklah dalam memilih bacaan⚠️ start: 28 Mei 2022-16 april 2024