Paradoks Badut Sedih

81 4 0
                                    

Duduk di balkon kondo bergelap-gelapan bagai 'Stanczyk'–nya Jan Matejko. Menunggu teman kencanku melukis wajah, aku menonton ulang How I Met Your Mother. Ah, tak seperti dia yang wah, aku lebih seperti sebingkai 'Soir Bleu' yang dilukis Edward Hopper. Definisi the sad clown paradox — tipe badut paling ortodoks di seantero mutual-mutual Twitter. Setelah hampir 2 episode dia keluar mengenakan heels, hanya tasnya Dowa — selebihnya entah Fendi atau apa.

       "Aku?" tanyanya.

       : "Epikurean, nihilis, profetik dan bon voyant". Kami makan di buffet restaurant. Gig yang lumayan untuk awam, dan kami berseloroh sambil makan malam membahas penampilan grup yang baru saja kami tonton. Apakah ada chemistry, apakah ada feromon — aku tak pernah tahu. "Ketimbang Epikuros, aku lebih familiar dengan Agustinus" kataku. "Wah, kamu mesti ikut kelas filsafat bersama aku hari rabu." Namun, memang di dalam dada manusia, dibalun sebalun kuku, dibuka selebar alam. Kami terus saja lempar-melempar umpan, berseleleran bak getah di ladang.

Malam itu dia memintaku membacakan untuknya salah satu sajakku, maka dengar dik:

"..aku ingin menjadi bulan yang singgah di jendela kamarmu, dan menemanimu.. ..menulis kata sampai kau tergeletak di bakar api yang menyala, pada sajak dan decit kasur, atau pada ujung nyawa, ketika kau bangkit dengan terpaksa untuk membereskan bekas dan aroma pada sisa-sisa cinta."
(Untuk Penyair Kecilku; Manuskrip 1995)

"Kok, aku tidak pernah baca itu di antologi 'Sihir Daring dan Cinta Yang Kontemporer', ya?" tanyanya. Duh. Betapapun sering ku menatap wajahnya, aku tak pernah jemu — seolah Tuhan sedang pamer ketika memahat bibirnya — cantik rupanya yang bagai Drupadi, atau bak pulau kelapa ditangan Tribhuwana Tunggadewi. Akulah Kertawardhana. "Ah". Tiba-tiba dia mencubit pipiku karena dari tadi hanya diam saja. Kamipun pulang bergandeng tangan, sambil saling menceritakan kisah tentang kakek-kakek moyang — tentang gagahnya Sang Pangeran, seorang Imam dan Jenderal Perang.

Pling, plang, pling, pling-pling, plang. Bunyi senar menyeruak tumpah memenuhi bejana kuping. Deru petik flamenco memeluk setiap langkah ke pola-pola di lantai dansa. Tanganku memagari tubuh molek di pinggang sangsai, melingkar seperti Baluwarti. Pinggulnya bergoyang gemulai menari-nari. Aku membisikinya penggalan sajak Pak Sapardi: "yang fana adalah waktu..", dia menjawab "kita abadi". Puah!! Entah di mana, seketika aku seolah pernah mengenalnya. Dia balik membisiki aku, "memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara". Aku terkesiap. Tertaut di benakku kata yang tak dapat aku ungkap, tentang keindahan, takjub sekaligus ngeri. Kemudian ia menciumku, dan tak dapat kutemukan aku lagi.

(2022)

ASMARA GENESIS - DIASPORA DALAM FAJAR ROMANSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang