Di atas kasur dan guling yang kupeluk, aku menyaksikan mantra-mantra tabib menggerogoti habis jatah tidurmu yang sedikit. Di kursi Ottoman, kau duduk, dekat meja kerja tua di tengah ruang. Kau termenung menatap jauh ke cakrawala di seberang jendela Bay kamar kita.
Kau menggenakan kemejaku, hanya itu. Sambil kau peluk sebelah betismu yang licin macam porselin, kau meletakkan dagumu. Kau meletakkan kepala yang telah memuat banyak beban pikiran, yang berat dan penuh kalut, ke sebilah tiang kabut yang kopong. Tempat aku kerap mengintip terbitnya bulan lewat sebongkah lorong.
Oi!
"I wruhhanta kamung hyang kabeh", pun kamar ini agaknya terlalu besar buat kami. Namun, jangan coba-coba ganggu. Kami pernah terjilapak di tebat-tebat angkara, sehingga musnah segala yang telah kami bangun. Segala manifesto dan cengkunek-cengkunek peradaban, melebur bersama debu-debu kosmik di antara ketiadaan yang samar-samar itu.
"Home sweet home", kau bergumam. Jogja memang berhati nyaman. Hati Jogja yang hangat dan tubuh kenangan yang dingin seumpama bom waktu dan detik-detik menjelang ledakan. Hanya tajam kuku-kukumu awet menusuk-nusuk pundakku yang kokoh, sewaktu kugenggam liar pingulmu yang lincah dan berbahaya. Di kamar ini, di batas kota, kita melesatkan desir ke semangkuk do'a.
(2022)
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARA GENESIS - DIASPORA DALAM FAJAR ROMANSA
PoetrySebuah antologi puisi yang belum rampung dan masih akan berlanjut sampai mencapai genap 50 butir sajak nantinya (sementara 44 sajak dulu). Sedang malas menulis deskripsi, mungkin akan aku sunting lagi nanti. Silahkan, semuanya - selamat menikmati! T...