1. Kami Kembar, Tapi Berbeda

16.4K 791 58
                                    

Bunyi perut keroncongan terdengar jelas di telinga seorang remaja berseragam SMA dari perutnya sendiri. Menatap iri saudara kembarnya yang berada di meja makan bersama keluarga. Meremas perutnya yang kelaparan, Remaja itu menatap miris pada dirinya sendiri dari balik pintu dapur.

Seorang pembantu di rumahnya menepuk bahunya dari belakang dengan berbisik, "Tuan muda tidak boleh makan lagi ya sama nyonya?"

Remaja yang ditanya mengangguk lemah. Pembantu tersebut menghela nafas, Dia sangat kasihan dengan tuan muda ini tapi sama sekali tidak bisa membantunya karena dia sendiri masih ingin bekerja di sini.

Dia mengikuti arah mata Tuan Mudanya, Sejenak membandingkan remaja yang duduk bahagia di meja makan dengan Tuan muda disampingnya, Dia menggeleng kepala, Sangat mirip.

Hanya cara memperlakukan keduanya yang berbeda. Bila kakak di sayang, Justru adik sebaliknya. Namanya adalah Suriyansah Raden Alfatir, Sedang sang kakak yang di meja makan itu bernama Suriyansah Radin Alfatir.

Sang adik, Raden sangat bingung tentang apa penyebab dia diperlakukan berbeda dari saudara kembarnya Radin. Sejak kecil Kakaknya selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya termasuk kasih sayang orang tua mereka.

Sedangkan untuknya, Raden tidak pernah merasakan semua itu. Bukannya dia tidak bersyukur, Tapi setiap anak berhak atas kasih sayang setiap orang tua, Begitupula bagi Raden.

Tetapi untuk mengatakannya langsung pada papa dan mamanya dia tidak berani. Dia takut, Takut akan dimarahi bila meminta lebih.

Raden membalikkan badannya, "Bi Ara, Tolong buatkan Raden bekal dari nasi sama lauknya juga ya Bi?" Pembantu yang di panggilnya Bibi itu segera mengangguk dan pergi dengan mata berkaca-kaca.

Dari ruang makan, Radin melihat semuanya dengan acuh. Selama ini dia selalu menyadari perlakuan berbeda ayah dan ibunya pada dia ataupun adiknya. Tapi dia senang tidak perlu merasa iri hati pada Raden karena adiknya itu tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang seperti halnya dia di rumah ini.

Melihat putranya melamun, Mila menegurnya, "Radin, Ayo makan, Jangan kamu pedulikan anak itu" Ucapnya lembut.

Ferdi menambahkan, "Benar kata Ibumu, Kamu harus banyak makan agar otakmu bertambah pintar, Tidak seperti adikmu yang hanya bisa mempermalukan kami sebagai orang tuanya" Sindirnya seraya melirik ke pintu dapur dimana anak bungsunya berada.

Radin tersenyum kecil, "Ayah, Ibu, Tidak boleh seperti itu, Bagaimanapun dia juga adik kembarku, Kalian harus adil kepada kami" Tuturnya. Mila mengulas senyum manisnya, Tangannya mengusap-usap kepala Radin.

"Mama bangga sama kamu, Ayo sayang makan yang banyak nanti kamu terlambat ke sekolah" Radin mengangguk dan fokus pada makanannya, Tidak peduli walaupun sang adik menatapnya penuh harap.

Kembali ke dapur dimana Raden berada. Dia sangat sedih mendengar kata-kata Papa dan juga mamanya. Inilah pekerjaan sehari-harinya, Berada di dapur atau di kamar hanya untuk mengintip kebahagiaan Sang kakak dengan orang tuanya.

"Tuan muda, Ini bekalnya, Hati-hati di jalan, Jangan ngebut bawa sepedanya" Nasehat sang pembantu.

Raden berbalik, Menatap wanita paruh baya yang sudah 20 tahun bekerja pada keluarganya. Mungkin wanita ini lebih mirip ibunya daripada pembantu.

Saat kedua orang tuanya mengetahui bahwa dia tidak sepintar kakaknya, Dia diserahkan kepada pembantu ini yang bernama Farah atau Raden biasa memanggilnya dengan sebutan Bi Ara.

Farah adalah seorang janda dengan satu anak seusia Raden dan juga Radin. Tetapi anaknya tidak bersekolah di kota tempatnya bekerja, Melainkan di desa. Wanita ini sangat sayang pada Raden dikarenakan dia sering rindu pada anaknya di kampung halaman, Jadi Farah sudah menganggap remaja itu sebagai anaknya sendiri.

Tersenyum, tanpa rasa curiga Raden menerima bekal dan memasukkannya ke dalam tasnya, "Sudah berapa kali Aden harus bilang ke Bibi, Jangan panggil tuan muda terus, panggil Raden atau Aden saja Bibi"

Farah terkekeh, "Maaf, Tapi Bibi tidak bisa memanggilmu seperti itu, Nggak biasa bibinya" Jawabnya lembut.

Kata-kata membuat hati Raden kembali cerah. Hanya Bibi Farah tempat dia mengadu kesusahan hatinya. Sang Bibi juga tidak akan segan-segan untuk menasehati bila dia salah.

"Terserah bibi saja deh, Aden capek ngomong itu terus selama ini, Aden pamit dulu ya Bi, Assalamualaikum" Usai berpamitan dia segera pergi dari dapur.

"Waalaikum salam, Hati-hati di jalan" Ulang Farah. Raden hanya mengangguk dari jauh.

Melihat si bungsu yang lewat tanpa berpamitan, Mila mencibir, "Jadi anak itu harus tau diri, Kamu gak mau pamit sama Mama dan Papa?" Langkah Raden berhenti ketika dia mendengar suara Mamanya.

Dia menoleh dan kemudian berjalan mendekati meja makan dan Berhenti tepat di depan mamanya. Sekilas matanya tertuju pada meja makan, Dia tanpa sadar menelan ludah.

Menyadari tatapannya, Radin bertanya, "Lo mau makan?"

Baru saja Raden ingin menjawab, Sang Papa lebih dulu mendahului, "Kamu jangan terlalu baik dengan adikmu, Ini hukuman buat dia karena mendapat nilai 91 untuk pelajaran Bahasa Inggris" Bagi Ferdi kesempurnaan adalah hal penting.

Radin tersenyum dalam hati, "Tapi Papa, Dia belum makan, Bagaimana kalau dia kelaparan di sekolah nanti?" Dia bertanya, Namun sebenarnya sedang menabur kebencian di hati Orang tua mereka untuk Raden.

"Kamu tidak perlu khawatir soal dia, Lagipula sudah biasa seperti ini" Jawab Ferdi santai. Senyum kecil terukir di sudut bibir Radin, melihat wajah adiknya yang murung.

Raden tidak tahan lagi, "Pa, Ma, Raden pamit ke sekolah" Ketika hendak mencium tangan mamanya dia mendengar lagi kata-kata menyakitkan hati dari Mamanya.

"Ya, Agar otakmu bisa pintar seperti kakakmu, Kamu harus banyak belajar, Lihat kakakmu, Dia peringkat pertama di kelas, Kamu kapan seperti dia?" Mila masih ingin melanjutkan ucapannya tetapi Radin dengan cepat memegang lengannya serta menggelengkan kepalanya, Mila mendengus.

"Iya ma, Papa Raden pamit dulu" Raden ganti mencium tangan papanya setelah itu dia langsung pergi dari sana.

"Anak apa yang telah lahir dari rahimku? Kenapa Raden berbeda dari Radin?" Ungkap Mila setelah punggung Raden menghilang dari ruang makan.

"Entahlah, Mungkin dia adalah spermaku yang cacat" Jawab Ferdi, ketiganya tertawa di meja makan.

Raden tersenyum kecut dari balik pintu ruang tamu. Awalnya dia berhenti karena penasaran apa yang akan dikatakan oleh mereka meskipun dia sendiri sudah tahu jawabannya, Mengecewakan.

Menghela nafas, Raden pergi ke bagasi yang berada di samping rumahnya. Pagi-pagi sekali satpam rumahnya akan membuka bagasi jadi dia tidak perlu lagi mencari kunci, Dia langsung masuk ke dalam untuk mengambil sepedanya.

Tidak seperti kakaknya yang naik mobil, Raden lebih menyukai sepeda sebagai kendaraannya bepergian kemanapun. kecuali acara keluarga, dia akan di paksa naik mobil oleh orang tuanya.

Raden mendorong sepedanya keluar bagasi, Dan berhenti tepat di depan gerbang yang tertutup. Dia tersenyum jahil melihat Satpam rumahnya yang tertidur dalam keadaan berdiri.

"Pak, Bukain pintunya dong, Aden Buru-buru nih, ntar lambat ke sekolahnya!" Aden tertawa geli saat satpam tersentak dan langsung berdiri tegap.

"Maaf Tuan muda, Saya ketiduran..." Ucap Satpam sedikit takut.

Raden tertawa lagi, "Santai Pak, Lagian ini baru jam 7, Kan masuknya jam 9, Bapak lupa ya?" Ucapnya mengingatkan

Satpam langsung melihat jam di tangannya, Kemudian terkekeh malu, "Hehe... Maaf Tuan, Bapak lupa, Lagian Tuan sih ngomongnya pake acara telat lagi, Kan Bapaknya panik!" Raden tertawa, Satpam Mendengus samar kemudian ikut tertawa lepas.

Dengan cepat satpam membukakan pintu gerbang, tersenyum dan berkata, "Hati-hati di jalan Tuan muda"

"Oke pak, Lain kali jangan tiduran lagi, ntar kalo ketahuan sama mama papa nanti di pecat" Peringatnya.

Satpam tersenyum penuh arti dan mengangguk mengerti, "Terima kasih Tuan muda kedua" Raden membalas dengan menaikkan alisnya, Barulah kemudian dia menaiki sepeda dan mendayungnya keluar dari rumahnya.

MY HUSBAND'S AN UGLY CAUCASIAN!! (Mpreg) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang