------ • ------
Nomor yang anda tuju...
"Fyuuh.."
Sekali lagi, aku membuang nafas panjang sambil menatap lalu kendaraan di halte gelap, sendirian, dan berantakan seperti gembel. Baterai ponselku hampir habis, entah siapa yang akan ku telepon lagi setelah berulang kali aku menghubungi nomor ibu namun gak diangkat.
Aku tersesat, dan ini karena salahku sendiri. Salahku karena bilang yang sebenarnya kepada ibu.
Yah, mungkin ini memang salahku. Tapi jika ibu tidak mengetahui hal yang sebenarnya, justru itulah yang paling 'kesalahan'. Aku yakin ini adalah pilihan yang terbaik.
Tapi bagaimana kalau ibu malah bunuh diri di rumah? Atau, tiba tiba terserang penyakit jantung? Atau loncat dari jembatan tinggi? Sialan, ini sebenarnya hanya pikiranku yang terlalu takut, atau insting seorang anak?
Mungkin hanya pikiranku saja.
Omong omong, sekarang akulah yang harusnya dipikirkan. Pertama, aku gak tau dimana tempat yang mau menampungku tidur. Kedua, aku bingung cara minta maaf kepada ibu. Dan yang ketiga, aku sama sekali gak tau ini dimana.
"Bosan."
Aku menatap ponsel, menggulirkan layar pada bagian kontak kemudian berhenti pada sebuah nama. Err– nama suna san lebih tepatnya.
Iya, suna san— pacarku.
Entah kenapa aku justru ingin menghubunginya lebih dari siapapun. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin memeluknya juga menceritakan segalanya pada suna san.
Mungkin dengan itu aku bisa lebih lega, dan gak merasa terlalu tertekan lagi. Ditambah, aku jadi bisa menenangkan diri setelah diusir ibu karena bicara hal yang gak masuk akal.
Aku berhasil menekan nomornya, menimbulkan bunyi bahwa telepon sudah tersambung– kemudian terdengar suara pria yang sudah sejak lama aku tunggu. "Halo?" Dia berhenti sejenak. "Halo? Ini bener nomornya sayangku kan? Iya kan?"
Aku tersenyum kecil. "Sayang? Baby? Halo~" Dia mengoceh di sebrang sana.
Mendengar suara suna san membuat hatiku sesak. Aku merasa ingin sekali menatap wajahnya walaupun sedetik aja. Aku rindu padanya, aku ingin curhat semua hal dari awal hingga akhir kepadanya. Kumohon, tuhan.
Sial, kenapa aku jadi ingin menangis?
"HUWEEEEEE!! HUWAAAAA!!!!!!" Sial, aku malah menangis kencang sekali— sampai orang orang yang duduk disebelahku menatap aneh. Air mata, tolong berhenti tumpah. Jangan membuatku malu. Kumohon.
"Gitchi?!" Dia terdengar terkejut. "Kenapa!?" Aku masih terisak. "Kamu dimana? Udah dirumah?"
"Be–belum." Ujarku terbatuk batuk. "Suna san, jemput aku huweeee!!!"
"Dimana!??"
"Ha-halte,"
Ia menghela nafas. "Halte itu banyak, sayang."
"Di-di depan rumah makan." Aku mengusap air mata sambil sedikit terisak. "Suna san, aku takut.. Aku gak tau ini dimana, hiks.."
"Tunggu ya, ingusnya di lap dulu. Jangan kemana mana, aku kesana."
"Kamu tau tempatnya?"
"Aku gak tau, tapi aku bakal cari. Jadi, tunggu aku. Jangan pergi dari situ. Okey?"
"Oke.."
~~•~~
Ponselku mati, namun air mataku tetap tidak mau berhenti. Tangisanku malah tambah keras dan menjadi jadi. Mungkin karena selama ini sudah ku tahan agar tak keluar. Entah tentang ibu, tentang tanganku, atau tentang tubuh asliku. Sialan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONTINUE || Haikyuu!
FanfictionBukankah aku sudah mati? Kenapa aku ada disini? Aku tidak akan pernah melupakan fakta bahwa aku secara ajaib melanjutkan hidup sebagai cewek kelas satu yang dikenal dingin dan pendiam di karasuno high school. Dengan kata lain, aku berada di dunia ha...