"Duh, lama banget enggak ketemu kamu, Ta." Sosok wanita berbalut fashion yang cukup modis langsung menghampiri Tata. Memeluknya cukup erat.
"Berlebihan kamu," dumel Tata. "Baru sebulan enggak ketemu."
"Sebulan itu lama, Bebs. Lagian weekend lalu kamu yang batalkan, kan?" Jenni berkata dengan tawa di wajahnya. "Gimana kabar kamu?" Ia pun mengambil duduk di depan sahabatnya.
"Sejauh ini biasa saja," sahut Tata sembari mengaduk pelan smoothies pesanannya.
"Syukurlah enggak ada yang ajaib lagi di hidup kamu."
Ucapan Jenni bukan tanpa sebab. Mengenalnya selama hampir lima belas tahun, banyak istilah yang dikeluarkan sang sahabat untuk dirinya. Terutama untuk keluarga 'ajaib' yang Bhumi miliki. Nilam sang Tikus Pengerat, mertuanya si Penyihir Gadungan, serta ... Bhumi si Pria Bertali Kekang.
Awalnya Tata tak suka dengan penyebutan itu. Biar bagaimanapun mereka semua bagian dari hidupnya. Namun, Jenni punya satu kalimat yang tak bisa dibantah begitu saja. "Kamu anggap mereka keluarga, tapi mereka anggap kamu mesin cetak uang, Ta. Sadar kenapa, sih?"
"Kamu sendiri bagaimana? Bisnis lancar?"
Jenni tampak semringah sekarang.
"Puji Tuhan, lancar semuanya, Ta. Amel dan Mas Rakha dukung aku seratus persen. Ya ... namanya juga usaha baru. Pasti sibuk banget, kan?"
"Aku senang mendengarnya, Jen."
Perkataan Tata berasal dari hatinya. Telah lama Jenni memimpikan memiliki butik sendiri di mana ia yang merancang desainnya. Wajar kalau sekarang sahabatnya itu menggebu menceritakan bagaimana detail segala hal mengenai bisnisnya. Termasuk respons yang masuk dan membuatnya cukup sibuk beberapa waktu belakangan.
"Aku jadi pengin punya usaha juga, deh," seloroh Tata setelah mendengarkan banyak ocehan Jenni mengenai butiknya.
"Kerjaan kamu?" Jenni bertanya dengan tatapan menyelidik.
"Mungkin ... resign," kata Tata sambil mengedikkan bahu.
"Ck!" Jenni berdecak. "Jangan resign kalau belum tahu tujuanmu mau apa, Ta."
"Hamil," celetuk Tata seperti tanpa berpikir.
"Astaga, Ta!" Jenni membeliak. "Hamil itu bukan urusan perempuan aja. Laki-laki juga. Sampai sekarang Bhumi enggak konsultasi, kan?"
Agak gemas sebenarnya Jenni jika bicara perkara 'hamil'. Saran itu pernah ia kemukakan bertahun-tahun lalu. Bahkan di depan Bhumi pun, ia tak sungkan untuk bicara. Baginya, Tata bukan sebatas sahabat semata. Ia menganggap sahabatnya ini sudah seperti adik kandungnya. Apalagi Tata di dunia ini hanya seorang diri.
Tata mengulum senyumnya saja.
Kembali Jenni berdecak. "Apa susahnya konsultasi? Memang kalau hasilnya negatif, dokter bakalan koar-koar seantero rumah sakit? Yang ada pastinya dicarikan solusi terbaik, Ta. Masa iya, Bhumi enggak ngerti ke arah sana?"
"Mungkin aku yang memang lemah kandungannya, Jen," kata Tata mencoba menenangkan Jenni. Bukankah seharusnya dirinya yang berapi-api membahas masalah ini? "Aku lagi berpikir, Jen, apa aku resign saja, ya? Biar aku bisa hamil?"
"Memang ada jaminannya begitu kamu resign, langsung hamil? Gitu?"
Tata terdiam.
"Lagian kenapa tiba-tiba bahas resign dan hamil?"
Sebenarnya tak ingin Tata berkisah mengenai kejadian minggu lalu, saat berkumpul bersama di rumah Nilam. Seolah-olah menjadi agenda wajib bagi hidupnya berkunjung ke sana karena sang mertua tinggal di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGAD UNTUK SEMESTA
Romance[Repost] . Blurb : Sulit akur dengan mertua, berdebat terus dengan ipar satu-satunya, diperparah pria berlabel suaminya itu ... ibarat kepala dilepas ujung kaki digelayuti, membuat Semesta terus menerus memupuk sabar. Sampai cintanya yang tulus diha...