Keping 15

2.1K 401 49
                                    

"Astaga, Tuhan!" Jenni memekik begitu Tata keluar dari mobilnya. "Kamu kena badai di mana, Ta?"

Tata bingung mendengar sambutan Jenni. "Mana ada."

Jenni terkekeh. "Badai rumah tangga, Ta."

Bibir Tata jadi mencebik. "Sembarangan."

"Sudah-sudah, ayo kita masuk. Aku baru selesai masak makan malam." Jenni segera menggamit tangan Tata dan sedikit menariknya agar mengikuti langkahnya. Rumah yang kadang Tata kunjungi masih tampak sama dari terakhir kunjungannya ke sini. Dominasi broken white menyambut mereka saat memasuki ruang makan.

"Kamarmu sudah aku siapkan, Ta. Nanti biar Pak Har yang angkut barang kamu."

"Aku enggak lama, Jen. Tadi sudah tanya-tanya kost dekat kantor."

Jenni berdecak. "Kamu itu jangan keras kepala, lah. Ngapain ngekost?" Ia pun menyuruh Tata duduk di salah satu kursi makan. Putrinya, Amel, sudah duduk menunggu sang ibu dan sahabatnya itu datang. Amel senang sekali karena Tata menginap malam ini. Bagi Amel, Tata adalah tante favoritnya.

Mendengar ucapan Jenni membuat kerutan di kening Tata makin jadi.

"Kamu itu keluar untuk sementara, Ta. Itu rumahmu. Hakmu. Perjuangkan."

Sekali lagi Tata berdecak. "Buat apa, Jen? Bikin capek hati ngurusnya."

Jenni jadi geram. "Itu rumah ada keringat kamu, Ta. Setelah gugatan cerai kamu dikabulkan, gugat harta gono gini. Hak kamu di sana besar. Minimal setengahnya harus kamu dapatkan. Biar aja capek dari pada dikuasai orang enggak tau diri macam keluarga Bhumi?"

Tata terdiam.

"Apa, sih, yang kamu punya, Ta? Enggak ada. Selama sepuluh tahun nikah sama Bhumi, berjuang bersama, terus sekarang? Kamu tinggal gitu aja? Wah ... kalau aku enggak bisa gitu, Ta. Bahkan kalau perlu, aku usir mereka semua sebelum putusan pengadilan ada. Enak saja."

"Aku pengin hidup tenang, Jen."

Jenni semakin berapi-api. "Tenangnya hidup kamu itu harus bikin mereka enggak tenang, Ta."

"Ngaco," kata Tata dengan tawa. "Kamu nawarin aku makan malam atau mendengar ceramah?"

"Kadang kamu itu perlu banget untuk diguncang isi kepalanya."

Jenni bukan hanya sekadar bicara. Ia tak ingin Tata lagi-lagi harus menjadi pihak yang kalah. Ia sudah bertekad membuat Tata untuk berjuang. Meski baru beberapa kali bertemu mertua Tata serta adik iparnya, Jenni sudah bisa menilai mereka bukan orang baik untuk Tata.

Tak berselang lama makan malam yang membuat Tata merasa tak terlalu kesepian, Jenni menunjukkan kamar yang akan ia tempati sementara waktu. Tak hanya sekali Jenni melarang untuk Tata pindah ke kost meski dekat kantor. Lebih baik katanya tetap tinggal di rumahnya apa pun yang terjadi. Sampai semua putusan jelas dan dirinya mendapatkan apa yang menjadi hak. Tata agak meragu sebenarnya. Tapi apa yang Jenni katakan mulai membayangi benaknya.

"Kalau butuh apa-apa panggil Bi Jumi aja. Semua barang kamu sudah dikeluarkan dari mobil sama Pak Har. Kalau ada yang kurang, jangan sungkan minta tolong mereka, ya."

"Makasih banyak, Jen."

Jenni tersenyum lebar. "Kamu sudah seperti kakak buatku, Ta. Aku enggak terima ada yang memperlakukan kamu dengan buruk."

***

Di depannya kini tersaji bagaimana rumah tangga yang ingin sekali Tata selami. Ada tawa meski Tata yakini, tawa itu tak serta merta ada. Di dalamnya pasti duka pernah menyapa tapi mereka semua berhasil melaluinya. Menjadi sahabat Jenni sejak lama juga membuatnya tau, bagaimana kisah hidup Jenni yang tak semulus jalan tol.

Inginnya juga seperti Jenni namun takdir membuat Tata menjalani kisah yang lain. Ia tak boleh mengeluh, kan? Berteriak mempertanyakan kenapa hidupnya semalang ini, sama saja ia melawan apa yang sudah Tuhan garis untuknya. Untuk sekarang, ia tak memikirkan bagaimana masa depannya. Yang ia inginkan hanya segera menyelesaikan segala permasalahannya.

Tak ingin mengganggu, Tata memilih menyingkir. Duduk di teras samping rumah Jenni sepertinya pilihan yang tepat. Tablet kerjanya tak luput ia bawa. Semalam ada pesan dari Jagad mengenai persiapan dinasnya. Mengingat kata 'dinas' membuatnya terkekeh.

Masih belum Tata lupa bagaimana ekspresi tiga orang yang ada di depannya. Wajar mereka menatap Tata dengan sangsi. Mendengar kata 'dinas' yang terlintas di benak mereka, pastilah Tata absen. Dirinya hanya mendukung dari balik layar selama timnya melakukan tugas di luar kantor pusat. Satu-satunya alasan yang bisa Tata beri adalah izin suami. Beruntungnya ia, Jagad tak pernah mempermasalahkan hal itu.

Katanya, "Izin suami itu penting karena kamu istri."

Maka di sini lah ia. Duduk ditemani gemericik air kolam serta kicau burung yang Rakha pelihara. Berkonsentrasi mengerjakan persiapan dinasnya hari senin nanti. Keberangkatanya tepat di minggu sore. Rasanya sibuk di kala weekend cukup emnyenangkan. Pikirannya mengenai perceraian, Bhumi, serta kelakuan keluarga suaminya itu. Sengaja ia tak berkirim pesan juga membalas pesan yang masuk dari siapa pun itu kecuali yang menurutnya penting.

"Kupikir kamu di mana, Ta," kata Jenni menginterupsi.

Tata mendongak sekilas lalu kembali menatap layar tabletnya.

"Kerja di saat weekend itu enggak baik, Ta. Belanja yuk. Amel minta dibuatkan ayam bakar."

Wanita berambut hitam itu menggeleng sekilas. "Kerja di waktu weekend itu menyenangkan kalau pas ditimpa masalah. Biar enggak sedih."

Jenni tergelak. "Bisa-bisanya."

"Oiya, minggu aku berangkat ke Medan sekitar tiga harian. Aku ada dinas di sana."

"Kamu ... serius, Ta?" Tak ubahnya seperti Jagad, Jenni sangat terkejut mendengar ucapan Tata. Apalagi dengan senyum semringah, Tata jawab dengan anggukan. "Wah!" Jenni bertepuk tangan riang. "Bagus itu. Anggap aja healing, ya, Ta."

Tata cemberut. "Sembarangan. Aku kerja, lho, ya."

"Iya, Ta. Healing yang bikin pening."

Mereka tertawa bersama.

"Tapi aku suka sama pergerakan yang kamu buat. Enggak berlarut dalam sedih meski aku tau, enggak gampang menghadapi masalah kamu ini."

Ucapan itu membuat Tata tersenyum tipis. "Terima kasih sudah mau support aku, ya, Jen. Aku enggak akan lupa bantuan kamu ini."

"Mahal, Ta, bayarannya." Jenni mengerling jahil. Diambilnya tangan Tata dan menggenggamnya erat. "Apa, sih, Ta inginku sebagai sahabat? Kamu temukan kebahagiaan untuk hidupmu, Ta. Mungkin dengan melepaskan Bhumi, ada kebahagiaan lain yang menyambut."

"Aku enggak mikirin pasangan, Jen, Jen." Tata menggeleng serta tertawa dengan pemikiran Jenni.

"Memang kebahagiaan itu berupa pasangan aja?"

Tata mengerjap. "Hamil maksudnya?"

Jeni tepuk jidat. "Kalau kamu hamil anaknya Bhumi, Ta, makin sengsara hidupmu nanti."

"Kok gitu?"

"Iya, lah. Mulut mertuamu itu enggak ada puasnya menilai kamu dengan skala buruk. Ada saja salahmu nanti. Anakmu begitu lah, anakmu begitu lah. Belum lagi kenapa begini lah, begitu lah. Alah!" Jenni mengibaskan tangan. "Sudah kebaca sama aku, Ta."

Rentetan kata-kata Jenni barusan membuat Tata menderaikan tawanya. Bagaimana Jenni dengan tepatnya menebak hal itu meski hamil dan punya anak adalah keinginan Tata yang terbesar.

"Bahagiakan dirimu sendiri dulu, Ta, nantinya. Aku yakin, kebahagiaan yang lain akan menyertai."

Tata mengangguk pelan namun hatinya menyetujui ucapan Jenni barusan.

"Bicara tentang hamil, kamu enggak hamil, kan, Ta?" tanya Jenni dengan sorot penasaran. Yang mana Tata hanya menjawab dengan gelengan lemah.

Bagaimana bisa ia hamil kalau hari terakhir periode bulanannya itu dua minggu lalu? Dan terakhir kali menghangatkan ranjang bersama Bhumi ... dua bulan lalu.

***
Jangan lupa koment ya kakak sekalian. Yang sudah koment, terima kasihhhhh

JAGAD UNTUK SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang