Keping. 3

2.1K 405 59
                                    

Dalam hidup Jagad, sosok yang sedang terbaring lemah dengan selang infus di tangannya adalah anugerah serta kutuk. Ada rasa marah yang sangat hebat mengingat siapa dan dari mana sosok ini berasal. Namun sungguh, tiap kali netra cokelat terang itu menatapnya sedemikian rupa, pria itu pun bertekuk lutut. Buyar segala marah yang ia punya. Terutama saat tangan itu menyentuh wajah Jagad dan bertanya, "Kantor baik?"

Tuhan!

Bisakah sekali saja Jagad diberi satu kesempatan untuk mengulang dunia? Terserah dimulai dari zaman apa, asal dirinya tak mengambil jalan serta keputusan supertolol di masa lalu.

"Pak," panggil seseorang yang Jagad kenali. Pria itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada sosok yang terbaring di ranjang ini. Merasa tak ada respons apa-apa, sekali lagi, sang pemilik suara berkata, "Bapak pulang saja. Saya yang jaga Non Echa."

Jagad tersenyum tipis. "Pulanglah. Biar saya yang jaga Echa."

"Tapi, Pak." Merry, sang pengasuh anaknya agak bersikeras. Ia tahu, pria yang ada di depannya ini jelas memiliki kesibukan yang sangat tinggi. "Besok Bapak be—"

"Saya enggak apa-apa, Merry. Kamu pulanglah. Biar saya yang jaga Echa malam ini. Kamu pasti lebih lelah ketimbang saya."

Merry tak bisa lagi membantah. Ucapan Jagad final. Kalaupun ia bersikeras, sama saja membuat murka pada diri majikannya mencuat.

"Baik, Pak. Saya pamit."

Tak butuh waktu lama, sosok Merry meninggalkan ruang rawat Alesyha Kirei Adi. Menyisakan sunyi yang membuat Jagad bisa mendengar detak jarum jam serta mesin pendingin di ruang ini. Juga satu monitor yang memantau bagaimana keadaan putrinya.

Padahal Echa sudah lama tidak kambuh dari kebiasaannya melukai diri sendiri. Tiap kali gugup, mendengar suara yang terlalu bising serta hal-hal yang membuatnya ketakutan, anak itu pasti melakukan tindakan ekstrim. Menjambaki rambutnya dengan kuat. Menggaruk lengannya sampai menganga lebar lukanya. Yang paling parah, membenturkan kepalanya ke tembok sampai terluka.

Seperti kemarin sore.

Jagad ada di persimpangan. Meeting-nya tak bisa ditunda, sementara putrinya berjuang mengatasi rasa takut. Meski berakhir dengan perban di kepala, rasa sesal pria itu besar sekali. Namun, ia tak punya banyak pilihan. Pekerjaannya juga penting dan dijadikan penopang untuk hidupnya dengan Echa.

Sekali lagi, ia menghela pelan. Ditariknya kursi dengan gerak cukup hati-hati agar tak menimbulkan suara mengganggu, lalu duduk di sisi putrinya. Diambilnya tangan yang ditancap selang infus di sana. Dibelainya penuh kasih. Dikecupnya penuh cinta.

"Echa kenapa? Ada yang jahat? Bilang Daddy, Nak."

Ia terpejam, menahan rasa sakit yang kini kembali menggebuk batinnya dengan kuat.

"Kamu yang kepingin banget punya anak, kan?"

Jagad mengusap wajahnya penuh frustrasi. "Tapi dia bukan anak aku!"

"Apa bedanya? Anak, kan? Aku beri, Jagad. Aku beri!"

"Wanita sialan!" maki Jagad tak peduli tempat di mana mereka berada kala itu.

"Sialan? Aku sialan? Kamu yang sialan, Jagad!" Wanita itu tersenyum sinis. "Itu anak kamu. Seperti yang kamu mau. Ingin anak, kan? Sudah kuberikan."

***

Kedatangannya disambut sepi. Tata agak heran sebenarnya. Biasanya sudah terdengar suara mesin kopi milik sang bos.

"Pagi, Bu Tata," sapa Bambang, office boy yang khusus membersihkan area ruang ini. Di tangannya terdapat nampan berisi tumbler milik Tata berikut secangkir teh hangat. "Saya letakkan di sini, ya, Bu."

JAGAD UNTUK SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang