Keping. 36

2.4K 445 53
                                    

[Bhumi : Berani kamu usir ibu aku, Ta? Keterlaluan kamu, ya! Enggak akan aku biarkan kamu seperti itu! ingat, rumah itu juga milik aku!]

Tata kembali memasukkan ponselnya ke tas yang ada di pangkuannya. Semua pesan Bhumi tak pernah digubris satu pun olehnya. Bahkan sering sekali mantan suaminya itu membuat panggilan telepon, tapi Tata masih sama. Tak peduli.

"Tadi kamu bilang apa, Jen?"

"Aish!" Jenni berdecak. "Masa ucapanku enggak jelas, Ta?"

Yang bisa wanita itu lakukan hanya menyeringai tipis. "Iya, aku paham kekhawatiranmu. Aku juga tau apa yang aku lakukan."

Tidak.

Tata dengar dengan jelas semua ucapan Jenni termasuk di dalamnya, benar-benar memastikan kalau Jagad itu resmi bercerai. Jangan sampai kehadiran Tata di hidup Jagad, menambah runyam posisi keduanya. Terlebih Tata sendiri bercerita mengenai peringai Rahayu pada Jenni.

Jenni menggenggam tangan Tata. "Aku enggak jadi soal dengan siapa kamu nantinya. Aku cuma mau kamu bahagia. Itu aja, Ta."

"Aku hanya bercerita mengenai perasaanku sedikit ke Jagad. Enggak lantas diasumsikan naksir berat, kan, Jen?" tawa Tata tercipta sudah. "Lagian enggak gampang untuk aku jatuh cinta lagi. Setelah apa yang aku lewati beberapa bulan ini? Apa yang aku alami bertahun-tahun lalu? Belum lagi cerita Jagad yang kamu bilang macam sinetron?"

Jenni mingkem.

"Aku hanya suka bicara dengan Jagad aja, kok. Nyaman dan menyenangkan, Jen."

"Ta," panggil Rakha yang sejak tadi fokus menyetir. Kali ini mereka dengan senang hati antar Tata ke bandara karena setelahnya, mereka akan liburan ke daerah Pangandaran. Sekalian jalan, kata Rakha begitu. "Nyaman itu bahaya, lho, Ta. Jauh lebih menyeramkan ketimbang cinta," imbuh Rakha dengan kerlingan jahil.

"Ngaco, ah." Tata mendengkus. "Sudah mau sampai. Kalian masih ingin meledekku atau enggak?"

Jadi lah kabin di dalam mobil ini penuh dengan gelak tiga orang dewasa di dalamnya. Amel yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya hanya mengerutkan alis kebingungan. tak lama berselang, mobil yang Rakha kendarai ini memasuki lobby bandara. Tata pun bersiap dan berpamitan.

"Kabari kalau sudah sampai, ya."

Tata mengangguk saja. Melambaikan tangan setelah memastikan barangnya tak ada yang tertinggal. Hingga mobil yang tadi ia tumpangi menghilang di antara antrian lainnya, Tata pun bergegas untuk memasuki area bandara.

"Ta," sapa Jagad yang membuat wanita itu agak berjengit.

"Bapak sudah sampai?"

"Sejak tadi," sahut Jagad kalem. "Saya enggak diperbolehkan jemput kamu hari ini. Jadi, yah ... saya datang lebih awal."

Tata terkekeh saja. "Saya sudah katakan alasannya."

"Kemarikan kopermu. Biar saya yang bawa." Jagad mengulurkan tangannya. Di mana membuat Tata mengerjap pelan. Matanya juga bolak balik menatap uluran tangan Jagad serta pegangan koper miliknya. "Ta, bergegas sedikit. Nanti kita tertinggal."

"Ah, iya, Pak."

Tanpa beban, Jagad menyeret pula koper Tata. "Seharusnya Bapak enggak perlu repot seperti ini."

"Repot apanya, Ta?" Jagad berdecak. "Anggap saja, kenangan dinas terakhir bersama saya. Kapan lagi atasanmu bawakan koper, kan?" Sorot mata Jagad jenaka sekali menatap Tata yang ada di sampingnya. Senyum wanita yang cantik mengenakan outer batik dipadu celana kulot seolah menjadi hadiah tersendiri untuknya.

Meski ... sungguh, membaca segala hal yang berkaitan dengan Tata ini sangatlah sukar Jagad lakukan. Pertanyaannya beberapa waktu lalu apa dapat jawab? Tidak sama sekali. Bukan. Bukan Tata tak menjawab, tapi jawaban itu sama sekali tak memuaskan segala tanya yang merongrong Jagad.

"Bisa jangan menekan saya dengan pertanyaan itu, Pak? Akan ada waktu di mana saya akan berkisah."

Tuhan! Apa katanya? Waktu? Memangnya waktu yang Jagad punya di Jakarta ini lama? Hanya tinggal hitungan hari! Tapi ia tak bisa mengutarakan segala keberatannya. Jagad takut, Tata kembali menggelar jarak.

"Jadwal kita selama di Samarinda sepertinya cukup padat, Pak," info Tata sembari memperhatikan tablet yang ia keluarkan dari dalam tas. "Barusan pihak Danacom email mengenai beberapa hal yang mau didiskusikan terlebih dahulu."

"Seharusnya kamu bisa atur dan tau apa yang harus dilakukan, kan?" Jagad menyeringai. "Ini dinas pertama kamu yang saya awasi, Ta. Saya enggak banyak campur tangan. Kamu decision maker-nya."

Langkah sang wanita agak melambat. Matanya menatap lurus pada punggung yang mulai menjauh namun sepertinya sang pemilik punggung menyadari kalau ada yang tertinggal. "Ta?" panggilnya yang membuat sang wanita tersenyum tipis. "Kamu kenapa?"

"Saya ... mendadak ragu bisa enggak, ya, seperti Bapak?"

"Ya jelas enggak bisa, Ta." Jagad tertawa. Langkahnya terhenti sembari menatap langit bandara yang terlihat terang. "Jangan merasa rendah diri dengan apa yang kamu miliki, Ta. Saya yakin, di bawah arahan kamu, divisi marketing ShopaShop akan lebih bersinar. Percaya diri, lah."

Senyum Tata tercipta meski separuh. "Bapak ... benar-benar akan meninggalkan Jakarta?"

Jagad mendekat pada wanita yang kini memenuhi netranya. Tak peduli ramainya bandara, di mata Jagad hanya ada Tata. "Saya sengaja pergi demi agar diri ini enggak serakah, Ta." Jagad tak punya keberanian sekadar untuk menyentuh Tata meski sedikit. "Saya takut, keserakahan saya nanti akan menghancurkan segala. Cukup sudah kehancuran yang saya buat. Saya enggak siap kalau kali ini hancur lebur enggak bersisa."

Entah dorongan apa yang membuat Jagad pada akhirnya nekad berbuat. Tangannya terjulur dengan penuh ragu namun tak bisa ia hentikan. Menyentuh lembut pipi Tata yang kali ini polos tanpa perona tapi tetap terlihat segar. Mendapati sentuh itu, Tata justru terpejam. Seolah menikmati bagaimana tangan Jagad mengusap pelan wajahnya. Tak ada tepisan dari sang wanita yang semakin menimbulkan keinginan Jagad untuk melakukan lebih.

Sebagian kepala Tata ia arahkan masuk dalam peluknya. Debar jantungnya ia biarkan didengar sang wanita. Jagad yakin, di dalam sana ribut sekali. Ia abaikan semuanya. Jagad hanya ingin sang wanita tau, apa yang ia rasakan meski tanpa kata. Karena kala kata itu mengudara ... Jagad yakin, akan banyak hati yang porak poranda.

Tata tak buta akan semua yang Jagad lalukan akhir-akhir ini padanya. Mungkin kalau bibirnya berkata, "Saya sudah bercerai, Pak." Ia yakin sekali, Jagad tak akan segan mendekati lebih dari apa yang ia rasakan sekarang. Namun hatinya juga belum tertata kembali, masih harus ia susun keping demi keping. Masih ada yang harus ia urus dengan Bhumi mengenai beberapa hal yang menyangkut pernikahannya dulu. Juga ia harus bisa memercayai, pria yang ia balas peluknya ini, tak akan berpaling darinya suatu saat kelak. Dan itu butuh waktu yang lebih dari sekadar bulanan.

Sementara Jagad ...

"Saya takut, Ta. Ta—"

Tata sedikit mengurai pelukan mereka. Mendongak agar dapat menatap pemilik jantung yang membuatnya merasakan debar yang sama. "Kalau saya yang meminta Bapak untuk tinggal, apa masih tersisa rasa takut?"

***

JAGAD UNTUK SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang