Keping. 12

2K 429 87
                                    

Tata pikir, gangguannya hanya sebatas telepon. Yang mana sebenarnya membuat hati Tata semakin remuk tiap kali mengingat perjalanan hidupnya. Tata sadar, siapa Tata sesungguhnya. Tapi bukan berarti dirinya terus menerus diremehkan dan dipandang sebelah mata, kan? Semua yang ia dapat sekarang juga hasil kerja kerasnya. Bukan sebatas mengandalkan Bhumi saja.

Tidak seperti itu.

Apa karena dirinya terlihat menggenaskan kala pertama bertemu Bhumi pertama kali? Meski ia hanya sebatas staff biasa, yang berjuang menghidupi dirinya sendiri, tapi Tata bukan seorang yang hobi meminta pada suaminya. Ia memilih untuk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri termasuk gelar sarjananya.

Tapi kenapa ia selalu dianggap beban untuk Bhumi?

Beruntung sekali meetingnya dengan Acame berlangsung cukup lama. Membuatnya sedikit teralih pada hal-hal yang tak seharusnya menggerogoti isi kepalanya. Apa yang sudah menjadi keputusannya juga tak ingin ia tarik sama sekali. Selama ia izin sakit, sekaligus memulihkan rasa sakit yang menghantam hatinya, ia banyak berpikir. Bukan tak memikirkan murka Tuhan-nya, tapi ... bagaimana bisa ia terus bersama seseorang yang membuatnya hampa?

Ada atau tiada Bhumi di rumah bagi Tata sama saja. Tak lagi ia rasa hangatnya cinta yang pernah Bhumi beri. Malah yang ada hari ke hari, makin jadi tekanan yang menghimpitnya.

Ia menghela panjang.

"Kamu ... kenapa, Ta?" tanya Jagad yang baru saja duduk di sampingnya. Mobil yang akan membawa mereka kembali ke kantor, sudah siap untuk menyusuri jalan Jakarta.

"Enggak, Pak," sahut Tata dengan cengiran lebar. "Saya enggak sangka pihak Acame langsung deal."

Jagad mengangguk sekilas. "Bagus lah. Kamu bisa diskusi dengan Ridwan untuk membicarakan progress lanjutannya."

"Baik, Pak."

Masing-masing dari mereka kembali terdiam; Tata menikmati perjalanan pulang, Jagad kembali sibuk dengan ponselnya. Bukan tanpa sebab ia sering berkutat dengan benda canggih miliknya ini. Dirinya tak bisa lepas begitu saja memantau keadaan Echa. Setidaknya sampai keadaan Echa stabil, Jagad bisa jauh lebih tenang bekerja.

[Merry : Sudah semakin baik Pak kondisinya Echa. Enggak lagi marah-marah.]

Jagad tersenyum membaca pesan yang Merry kirim. Juga tak lama berselang, sebuah foto di mana Echa tampak sibuk dengan balok yang ia jejer seperti kereta dikirimkan Merry sebagai bentuk laporan. Wajah Echa tampak fokus menyusun satu demi satu balok yang ada. Kerutan di kening gadis itu terlihat jelas. Yang mana ia juga bisa melihat bekas jahitan di dekat pelipisnya.

Bekas luka di mana segalanya terkuak.

Pria itu memejam kuat. Memegangi ponselnya jauh lebih kencang dari biasanya. Menggeleng pelan untuk mengusir pemikiran yang kembali membayanginya. Itu ... masa lalu. Jagad tak perlu lagi risau. Ini sudah menjadi pilihannya. Harga yang sangat mahal, yang harus ia bayar karena keegoisannya.

Anak ... anugerah terindah yang Tuhan beri. Yang mana Jagad lantang sekali menantang kuasa Tuhan. Menghancurkan segalanya demi keinginannya. Dan saat ia dapatkan, sesalnya mungkin sebanyak buih di lautan. Tak ia temui tepiannya. Karena anak pula lah, dunianya hancur.

"Apa ini mauku, Mas? Bukan!!!"

Jagad mengepal kuat. "Jangan salahkan aku selingkuh, Nia. Kamu yang enggak bisa beri aku anak!"

"Gila kamu, Mas!"

Lalu Jagad pergi begitu saja. Tak peduli kata-kata itu sangat melukai orang yang paling ia cintai. Juga ia buktikan kalau dirinya memang menginginkan kehadiran seorang anak. Memaksakan sebuah kehendak dengan membuat lubang kehancurannya sendiri.

"Jawab aku, Wanita Sialan!"

Wanita itu tergelak dengan seringai puas. "Apa yang mesti aku jawab, Jagad? Kamu minta aku punya anak, kan? Sudah kuberi. Itu ... terbaring. Anakmu, Jagad."

"Bukan!" desis Jagad dengan langkah mendekat pada sang wanita. "Jawab, Rahayu! Dia anak siapa!!!"

Tak ditemui rasa takut di wajah wanita bernama Rahayu, istri kedua Jagad. Yang ada, tawa itu semakin membahana. "Kamu meragukan aku, Jagad? Meragukan anak kita?"

Dilemparnya hasil test DNA yang baru saja ia lakukan pada wanita yang belum mau meredakan gelaknya itu. "Jawab aku kalau begitu, Rahayu. Apa maksud ini semua?"

Dalam berkas yang kini berserak di lantai, hasil test itu menunjukkan kalau bocah yang terbaring selepas jatuh dari tangga dan mengalami pendarahan yang hampir membahayakan nyawanya itu, negative dengan Jagad. Bukti konkrit kalau Jagad bukan ayah kandung dari bocah malang itu.

"Kamu seharusnya tau ... dari mana asalku, Jagad." Rahayu mendekat. Diusapnya pelan rahang Jagad yang mengetat. "Jangan lupa kita bertemu di mana."

"Pak, kita sudah sampai," kata Tata memberi info. Ia bersiap untuk turun setelah memastikan tak ada barang-barangnya tertinggal di mobil. Ia tak terlalu memperhatikan Jagad yang berkutat dengan kenangan masa lalunya.

Ucapan Tata barusan membaut Jagad mengerjap pelan. Dengan cepat ia berusaha untuk menguasai keadaan. "Sudah sampai rupanya," katanya dengan kekehan. "Hari tak usah lembur, Ta. Kamu juga baru sembuh. Saya takut dibilang bos yang enggak kenal belas kasih."

Tata menatap Jagad heran lalu tertawa kecil. "Baru masuk juga sudah diajak meeting, Pak."

Jagad hanya melempar senyum tipis sebagai timpalan gurauannya. Candaan yang ia gunakan untuk menutup segala hal yang berkecamuk di hatinya. Jangan sampai ada yang membaca air mukanya yang mendadak keruh.

Mereka turun persis di lobby, membiarkan Pak Muh mengembalikan mobil ke basement. Tata berjalan dengan langkah cukup lebar untuk mengimbangi sang bos. Meski tak ada lagi yang dibicarakan, tapi Tata memang ingin segera tiba di meja kerjanya. Merapikan segala barang bawaannya, lalu bergegas pulang. Mungkin makan malam bersama Jenni dan Amel cukup menyenangkan. Sebagai ungkapan terima kasih karena Jenni tak meninggalkannya sendirian di rumah. Bersama Amel, mereka tidur bersama.

Setidaknya tiga hari belakangan, rumah Tata tak sepi.

Namun itu hanya sebatas rencana. Tata tak menyangka seseorang menunggunya di lobby.

"Ta."

Bhumi sejak setengah jam lalu memang sudah ada di lobby kantor Tata. Informasi yang ia dapatkan, Tata tengah meeting bersama bosnya. Selama sang istri bekerja di bawah naungan perusahaan yang cukup bonafit ini, Bhumi belum pernah sekali pun bertemu atasan Tata. Sekali pindai, ia yakin sosok ini adalah bos sang istri.

Panggilannya barusan membuat Tata menghentikan langkahnya. Juga Jagad yang sedikit penasaran siapa sosok yang kini ada di depan mereka. Ingin mencampuri tapi bukan urusannya. Jadi ... "Ta, saya duluan, ya."

Tata menoleh pada Jagad yang sudah melanjutkan langkahnya. Melihat sang bos sudah kian berjarak, Tata kembali mengarahkan pandangan pada Bhumi. "Ada apa?"

"Mau sampai kapan kamu menghindar?"

Wanita itu tampak menyeringai. Tangannya juga bersidekap.

"Sekali aku mejatuhkan kata 'cerai', enggak ada kata 'rujuk', Ta."

"Aku tau," tukas Tata dengan cepatnya.

Bhumi tak percaya istrinya semudah itu memberi respon. "Kamu benar-benar, ya. Tiga hari aku enggak pulang bukannya berpikir di mana salahnya kamu. Kurangnya kamu selama ja—"

"Aku enggak ingin dengar ceramah kamu, Bhumi." Tata menyela dengan cepatnya. "Yang kutunggu surat cerai datang ke meja aku."

Bhumi menggeram kesal.

"Atau ... kamu takut bercerai sama aku, Bhumi?"

***


JAGAD UNTUK SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang