[Tata : Jen, sementara waktu aku tinggal di rumah kamu, ya. Senin aku pindah ke kost dekat kantor.]
{Jenni : Ada apa memangnya? Kamu di mana? jangan bikin aku khawatir, Ta}
[Tata : Nanti aku kabari.]
{Jenni : Keep contact terus, Ta. Rumahku selalu terbuka untuk kamu}
Setelah membaca pesan terakhir dari Jenni, ia kembali memasukkan ponselnya ke saku. Mobil yang sejak tadi ia kendarai sudah terhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Gerbang hitam yang cukup tinggi sudah ia buka lebar. Sengaja mobilnya tak ia masukkan dalam garasi. Baginya segala hal yang ada di rumah ini sudah berakhir beberapa jam lalu. Seliweran dalam benaknya, kenangan manis yang tersisa di sana. Tapi juga berbarengan dengan sakit serta kecewanya akan perlakukan sang kepala rumah tangga.
Meski hidup harus lah seimbang, tapi apakah kenangan manis juga harus imbang dengan kenangan buruk?
Ditatapi lekat-lekat tiap lekuk rumah yang sudah ia tinggali hampir sembilan tahun belakangan ini. Mulai dari hanya sebatas sofa biasa dengan meja seadanya, sampai akhirnya rumah ini didekorasi sesuai dengan keinginan mereka bersama. Jelas ada rasa sesal kenapa Tata tak mempertahankan hasil jerih payahnya. Meski Bhumi ikut andil, tapi Tata tau, lebih banyak uangnya mengalir dalam tiap sudut rumah bercat soft mint ini.
"Aku bisa beli rumah lagi tapi harga diri aku enggak bisa dibeli sepeser pun."
Ucapan itu kembali bergema di kepalanya. Lantas ia ... terkekeh. "Astaga, Ta. Dapat kata-kata itu dari mana, ya?" Ia tak habis pikir jadinya. Tanpa ia sadari, dirinya sudah ada di kamar. Masih tersisa kekacauan yang ia perbuat terutama bagian meja rias. Niatnya weekend nanti akan ia bereskan kamarnya agar kembali seperti semula. Tapi ternyata, tak sampai minggu depan dirinya sudah keluar dari rumah ini.
Ia duduk di tepi ranjang. Diusapnya pelan sprey yang mengalasi ranjang besarnya. Sekali lagi ia menghela panjang. Tidak. Tata tak merasa sedih atau kembali berurai air mata atas keputusannya. Justru sepanjang jalan ia merasa sudut bibirnya berkali-kali terangkat meski tipis. Merasa seperti tali kekang yang menjerat lehernya mendadak tanggal begitu saja.
Segera ia ambil dua koper besar yang ada di ruang penyimpanan. Ia berusaha untuk packing semua barang miliknya. Tak ingin ia sisakan satu pun di rumah ini. Entah kenapa ia merasa, ia tau nasib rumah ini akan jatuh pada siapa. Lelah yang ia rasa juga tak terlalu dipedulikan. Padahal masih ada satu hari lagi ia bekerja. Tak apa. Lagi pula menyibukkan diri di tengah kejadian yang menimpanya bisa membuatnya teralih.
"Mas, nanti kamar ini aku yang dekor, ya?" kata Tata dengan nada memohon. Mereka berada di salah satu pusat perbelanjaan khusus untuk furniture rumah tangga serta kantor.
"Memang kamu mau seperti apa?" Bhumi mengusap puncak kepala Tata lembut.
Diperlakukan seperti ini membuat Tata tak pernah melenyapkan senyumnya. "Pengin yang manis dan simple aja, sih."
"Cari referensinya dulu, Ta. Jadi enggak boros beli barangnya."
Tata setuju.
"Rumah kita itu harus nyaman ditinggali, Ta. Aku pengin rumah itu benar-benar arti pulangnya aku, lho."
"Iya, Mas."
"Di mana ada kamu dan anak-anak nantinya, ya, Ta."
Manis sekali kenangan itu terputar dalam benaknya. Bagaimana perlakuan Bhumi padanya yang membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Sayangnya ... kini itu hanya sebatas memori. Tanpa ia sadari, dirinya tertidur di antara tumpukan pakaian. Tak menyadari juga kalau dirinya hanya tidur beberapa jam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGAD UNTUK SEMESTA
Romance[Repost] . Blurb : Sulit akur dengan mertua, berdebat terus dengan ipar satu-satunya, diperparah pria berlabel suaminya itu ... ibarat kepala dilepas ujung kaki digelayuti, membuat Semesta terus menerus memupuk sabar. Sampai cintanya yang tulus diha...