Keping. 18

2K 450 88
                                    

Tata sekali lagi memeriksa berkas mengenai jalannya proses pembangunan gedung, meski bukan kuasanya tapi gedung ini nantinya akan dijadikan kantor yang mengepalai area marketing di wilayah Sumatera. Juga server cadangan untuk membagi kapasitas layanan mengingat beban di Jakarta cukup berat. Makanya BoD meminta mereka berdua untuk mengecek bagaimana pembangunan di sana.

"Pak Jimmy enggak terima alasan seperti ini, sih," kata Tata pelan sembari membenahi kacamatanya. "Pak Jagad tau sendiri, kan, Pak Jimmy bagaimana."

"Saya paham, Ta." Jagad menggosok tangannya pelan. matanya menatap tegas pada dua orang yang bertanggung jawab atas pembangunan gedung berlantai sepuluh ini dengan tajamnya. "Bu Ratih kami percayakan untuk proyek ini tapi kenapa molornya terlalu lama?"

"Seperti yang saya jelaskan, Pak," Ratih tersenyum tipis. "Dalam tiga bulan ke depan semuanya sudah beres."

"Ini bukan bagian saya sebenarnya tapi Pak Owi yang seharusnya ada di sini bersama saya. Tapi berhubung Pak Owi ada urusan sangat mendesak sekali, saya enggak bisa bicara banyak selain menjalankan prosedur yang ada."

"Kami pastikan tiga bulan sudah bisa selesai untuk hal-hal yang dibutuhkan."

Jagad menghela pelan.

"Laporan ini harus sampai ke bagian keuangan, Pak." Tata menyela sejenak. "Maaf terkesan ikut campur tapi gedung ini memang ingin kami gunakan."

"Sepertinya Bu Tata ini sejak tadi mendesak terus? Kami tau apa yang harus kami kerjakan." Kali ini Ratih menatap Tata dengan raut tak suka. "Jangan ada alasan pribadi di sini, ya, BU Tata."

Kening Tata berkerut jadinya, tapi menatap lawan bicaranya seperti tersentil, ia jadi terkekeh. "Wah ... saya justru enggak tau masalah pribadi apa yang Ibu Ratih katakan."

Ratih melipat tangannya di dada. "Sejak tadi saya perhatikan ucapan Bu Tata menyudutkan saya. Ini kerja sama sudah terjalin lama. Jangan campuri masalah pribadi dengan pekerjaan." Ia pun berdecih pelan. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk segera mendirikan gedung ini. tiga bulan saya juga sudah berikan alasannya kenapa dan semuanya masuk akal, toh? Kenapa mengesankan tidak percaya? Kalian mau melakukan pemeriksaan apa terkait laporan di keuangan."

"Kami tetap buat laporan, Bu." Jagad kali ini yang berkata. "Diskusi ini juga segera saya sampaikan ke Pak Owi dan Pak Jimmy."

"Silakan," kata Ratih dengan nada penuh percaya diri.

Jagad memilih untuk mengakhiri pertemuan dengan klien yang mengurus pendirian gedung ini. "Kami permisi." Diikuti dengan Tata, mereka pun beranjak dari ruang pertemuan di lantai tiga gedung yang sebentar lagi selesai. Tata hanya mengangguk sekilas pada sosok wanita yang belum melepaskan tatapannya pada Tata.

Ingin rasanya ia menertawakan wanita itu. Apa katanya? Urusan pribadi? Astaga, Tuhan! Terserah apa pun yang ia lakukan bersama Bhumi, ia tak ingin memikirkannya. Yang ada di benaknya sekarang, laporan yang diberikan kenapa berbeda dengan yang ia tau? Meski ia tak mengerti detail, sebagai perwakilan dari ShopaShop ia harus menaruh curiga, kan?

Benar. Wanita itu adalah Anisya Ratih Dwihara. Wanita yang pernah ia temui bersama Bhumi, dua kali. Yang mana diakui dengan jelas kalau suaminya berselingkuh dengannya. Meski di depan ibunya ia sama sekali tak mengakui, tapi Tata berusaha kuat untuk mengabaikannya. Yang membuatnya terkejut adalah Ratih sebagai penanggungjawab penuh proyek yang ada di Medan.

Kebetulan yang lucu sekali.

Bhumi bekerja memang dalam sektor pengadaan bahan bangunan berskala besar. Dan Ratih?

Astaga! Bagaimana ia bisa melupakan fakta di mana pasti mereka berdua memang sering bertemu di luar, kan? Dan itu ... ah, Bhumi, Bhumi. Apa yang ia katakan? Tata tak memiliki bukti apa pun mengenai perselingkuhan mereka. Ah ... benar. Memang tak punya. Tapi ini semua sudah semakin menguatkan hatinya kalau dua orang itu sungguh bermain api di belakang Tata.

"Menurutmu bagaimana, Ta?" tanya Jagad setelah duduk kembali di dalam mobil yang akan mengantar mereka kembali ke hotel.

"Menurut saya bagaimana, Pak?"

Jagad terkekeh lantaran wajah Tata terlihat lain dari biasanya. "Kamu mencurigai sesuatu."

"Oh." Tata meringis. Ditepuknya pelan berkas yang ada di pangkuannya. "Biarkan ini jadi urusan Divisi Humas dan Keuangan saja, Pak."

"Kamu benar." Jagad pun menyamankan duduknya. "Kita kembali ke hotel, Pak."

"baik, Pak."

"Besok pagi kita berangkat ke bandara. Ada yang ingin kamu beli sebelum kembali ke Jakarta?"

"Enggak, Pak," kata Tata sembari menggeleng.

"Biasanya wanita itu paling rajin membeli oleh-oleh sebagai buah tangan." Jagad menyuarakan pemikirannya dengan nada heran.

"Sudah saya siapkan, Pak."

Jagar mengerutkan kening. "Kapan?"

"Kemarin sore selepas bertemu dengan pihak Jiayi. Lagi juga tokonya ada di seberang hotel."

Tak ada yang bisa Jagad lakukan selain mengangguk. Diliriknya sekilas rekan kerjanya yang kini menatap lurus pada jalanan yang ada di depannya. Tak terganggu sama sekali. Tenang tapi sorot matanya terlihat berbeda. Ada geram serta amarah di sana. Berusaha sekali Jagad menahan dirinya agar tak terlontar pertanyaan yang belum bisa ia abaikan begitu saja.

"Jangan campuri urusan pribadi dengan pekerjaan."

Apa ... Tata mengenal Ratih sebelumnya?

***
Tiba di Soekarno Hatta dengan selamat, membuat Tata tersenyum lebar. Setidaknya perjalanan dinas pertamanya ini tak menemukan kendala berarti. Ternyata memang ada bedanya bekerja di balik layar dengan langsung bertemu klien dan bicara apa yang bisa dijadikan jalan keluar.

"Saya harap kamu enggak kapok pergi dinas lagi, Ta," kata Jagad sesaat setelah mengambil koper bagiannya. Dibantunya sedikit wakilnya yang agak kesulitan.

"Terima kasih, Pak." Tata tersenyum tipis. "Saya enggak kapok, kok. Malah jadi pengalaman berharga."

"Syukur lah." Jagad berjalan di samping Tata. Tak ada yang dibicarakan lagi di antara mereka. Bahkan di pesawat pun, mereka lebih banyak diam. Hanya sesekali bicara dan itu pun Jagad beri kesan kalau jawaban yang diberikan Tata semuanya tertutup. Tak ada sela bagi Jagad untuk bertanya lebih lanjut.

Tak jadi soal sebenarnya mengingat Tata memang bukan wanita yang senang bicara terlalu banyak. Di mata Jagad selama mereka bekerja sama, Tata termasuk partner yang menyenangkan meski irit bicaranya.

"Oiya kamu dijemput?"

Pertanyaan Jagad yang tiba-tiba membuat Tata menoleh. "Enggak, Pak. Nanti saya naik taksi saja."

"Saya antar sampai dapat taksi, ya."

"Enggak usah, Pak," tolak Tata dengan segera. "Saya bisa sendiri."

"Enggak lama, kan? saya enggak keberatan dan memastikan kamu benar-benar aman, Ta."

Tata berdeham sekilas. "Sepertinya Bapak harus mengurungkan niat."

Jagad menatap ke arah di mana Tata menunjuk dengan dagunya.

"Putri Bapak sudah menjemput. Saya duluan, ya, Pak."

"Begitu rupanya," Jagad terkekeh. Sorot matanya segera penuh dengan sosok Echa yang berjalan ke arahnya. "Kalau begitu kamu hati-hati, Ta. Kabari saya kalau sudah di rumah."

Tata memilih mengangguk saja. Tak menyahuti sama sekali ucapan Jagad.

Namun ...

"Tante!"

****

Seru enggak kisah Jagad-Semesta ini?

JAGAD UNTUK SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang