Terima kasih Kakak sekalian yang sudah meninggalkan jejak komentar
***
Tata bersandar di tepi ranjang. Kamarnya baru saja diterpa angin puting beliung. Meja rias yang semula rapi, sudah tak keruan lagi letaknya. Koleksi make up serta botol parfumnya mengotori lantai. Ranjang yang tak ada kerutan di sekitar sprey, sudah amburadul. Bantal serta guling pun isinya mencuat ke mana-mana. Begitu juga lemari pakaian miliknya. Hampir seluru isinya berserak di lantai. Ia sendiri tak tau, barang apa saja yang pecah di sana.
"Aku pastikan kamu menyesal melakukan ini, Ta."
Ucapan itu sedikit mengusik Tata. Sampai sosok pria yang masih berlabel suaminya itu pergi meninggalkannya dengan dua koper besar, Tata masih bertahan dalam kedataran wajahnya. Tak akan ia merendahkan diri atau meminta maaf telah mengusir Bhumi. Sudah cukup baginya bertahan. Namun tak lama berselang, ia pun luruh.
Menangis sejadi-jadinya. Berteriak macam orang gila. Memaki serta menumpahkan segala amarah yang ia tahan sejak duduk berempat ... ah, rasanya bukan diawali beberapa jam lalu. Mungkin amarahnya telah lama bersemayam di hati. Baru kali ini ia bisa memuntahkannya dengan bebas. Termasuk memporak porandakan kamarnya sebagai salah satu bentuk pelampiasan.
"Kamu itu jangan mengeluh terus, Ta. Coba sesekali turuti Ibu. Kamu sendiri, kan, yang bilang beruntung akhirnya bisa punya Ibu?"
Kala itu Tata tersenyum tipis dan berusaha untuk menekan rasa tak sukanya pada sikap Rieka, sang mertua. Ia pilih, konyol rasanya kalau di hari libur kerja ia tetap harus berkunjung ke rumah mertuanya. Kalau sesekali, mungkin Tata tak jadi soal. Tapi ini hampir setiap waktu liburnya.
Awalnya ia tak jadi soal tapi makin ke sini, ia semakin kelelahan. Ia tak bisa beristirahat dengan baik sementara pekerjaan di rumahnya juga masih bertumpuk. Bhumi pun tak mau membantunya barang sedikit. Tata ingin ada seseorang yang membantu di rumah, Bhumi melarangnya. Katanya harus berhemat.
"Apa kurangku, Bhumi?!" maki Tata sembari melempar bantal, mengacak selimut yang telah rapi terlipat. "Apa!!!"
"Ta, Nilam mau kursus di salon. Aku janji membiayainya."
Tata terperangah. "Tapi, Mas, uangnya memang ada?"
"Ada, lah." Bhumi tersenyum tipis. "Aku baru dapat proyek."
"Kamu bilang kita harus hemat, Mas."
"Hemat bukan berarti pelit dengan keluarga aku, kan, Ta. Lagian, ya, kita berdua ini kerja. Nilam juga adik kamu, kan? dia juga pengin punya kegiatan ketimbang di rumah aja."
Tata bingung jadinya. "Kenapa Nilam enggak melamar kerja di kantoran saja? Percuma kita kuliahkan dia, Mas."
Bhumi melihat Tata dengan sorot tak terima. "Lalu yang jaga Ibu siapa? Kamu? kamu aja kerja, kok."
"Ya tapi, kan, bisa nanti untuk kursus. Toh sama juga Nilam nantinya punya kegiatan di luar rumah. Yang jaga Ibu siapa?"
"Sudah lah kamu enggak perlu banyak ikut campur, Ta. Ini keluarga aku. aku yang biayai mereka. bukan kamu!"
Tata meremas ujung dressnya kuat-kuat. "Dia biayai keluarganya?" Lalu tawanya memenuhi kamar. "Yang paling banyak itu aku! Aku!!!" Dadanya sesak sekali.
"Kamu itu jadi istri yang hormat dan ajeni suami dengan baik, Ta. Jangan banyak bantah. Bantu suami juga. Jangan mau enaknya aja."
Ucapan itu bukan sekali dua kali Tata dengar. Sungguh, ia selalu memimpikan memiliki seorang ibu dan saudari perempuan. Ia hidup sendiri sejak masih berusia lima tahun. Mengenal Bhumi di mana memiliki keluarga nyaris utuh. Meski hanya mengenal ayah mertuanya dua tahun setelah mereka menikah, tapi Tata bersyukur. Saking bersyukurnya ia, tak peduli betapa sering mereka memperlakukan Tata dengan buruk. Dalam pikir Tata, selama dirinya bisa membantu, pasti akan ia bantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGAD UNTUK SEMESTA
Romance[Repost] . Blurb : Sulit akur dengan mertua, berdebat terus dengan ipar satu-satunya, diperparah pria berlabel suaminya itu ... ibarat kepala dilepas ujung kaki digelayuti, membuat Semesta terus menerus memupuk sabar. Sampai cintanya yang tulus diha...