Beberapa bulan lalu.
Semesta tersenyum tipis menatap hasil masakan yang baru saja selesai ia kerjakan sepagian ini. Sabtu yang cukup melelahkan, tetapi dirinya tak boleh mengeluh. Satu jam lagi ia harus stand by, memantau segala hal yang berkaitan dengan perjalanan dinas sang bos. Meski berada di rumah, tetapi sebagai wakil manajer marketing ShopaShop, ia tak bisa diam saja menunggu hasil.
"Mas ... makan dulu," tawar Tata begitu melihat sosok suaminya keluar dari kamar. Ada kernyitan di dahinya. "Mas mau ke mana?"
Sosok yang ditanya hanya melirik sekilas, memindai penampilan istrinya, lalu berdecak. "Kamu itu bagaimana, sih? Hari ini acaranya Nilam. Jangan bilang kamu lupa?"
Tata menggali dengan cepat, kapan informasi mengenai acara dalam keluarga besar suaminya itu terselenggara. Namun, nihil. Tak ia temukan satu rangkai kata mengenai acara yang dimaksud.
"Aku ... enggak tahu, Mas."
"Alah!" Sang suami, Bhumi Kaspia, mengibas tangannya penuh enggan. "Kapan kamu tahu? Acara keluargaku selalu dinomorduakan."
Wanita berambut sepunggung itu mengerjap. "Ya, enggak gitu, Mas. Aku memang enggak tahu."
"Nilam sudah kasih tahu kamu, Ta. Kamu yang enggak peduli kalau adik aku beri tahu apa pun." Bhumi menekan kata 'apa pun'. Matanya juga menatap sang istri penuh penghakiman. "Kita berangkat sebentar lagi. Aku tunggu kamu tiga puluh menit lagi."
"Tapi, Mas," sela Tata dengan cepatnya. "Setelah ini aku ada meeting. Kamu tahu, kan?"
Bhumi lagi-lagi berdecak.
"Meeting?" Ia pun menggeleng tak percaya. "Terserahlah. Kapan kamu bisa memosisikan diri sebagai istri yang baik, Ta? Selalu dengan kerja, kerja, dan kerja."
"Mas, kita sudah sepakat tentang ini, kan?"
Bhumi tak jua menurunkan sikapnya terhadap sang istri. Batinnya terlalu muak dengan sikap Tata yang terus-menerus mendebatnya. "Enggak sekali dua kali, Ta, kamu seperti ini."
Kemudian, pria berkemeja biru langit itu meninggalkan istrinya begitu saja. Seolah-olah tahu, sang istri tak akan mengimitasi langkahnya. Benar saja. Sampai kakinya ada di ujung pintu, Tata tak jua mengekorinya. Sengaja ia banting pintu rumahnya dengan keras. Suara memekak menjadi pengiring kepergiannya kali ini.
Sementara, Tata mengepalkan tangannya. Merasa kesal dan geram. Tiap kali berkaitan dengan keluarga dari pihak Bhumi, ia selalu disudutkan. Dirinya bukan orang yang serampangan terhadap satu kabar. Apa kata Bhumi tadi? Nilam mengabarinya? Kapan?
Bergegas ia ambil ponsel di meja makannya. Membuka semua pesan yang masuk, terutama dari Nilam. Tak ada pesan apa pun di sana. Termasuk di dalamnya, catatan panggilan dari Nilam. Memang benar, ada satu kali telepon tak terjawab dari sang adik ipar seminggu lalu, tetapi tak ada pesan lainnya. Lantas dari mana dirinya tahu kabar ini?
"Kalau aku debat juga tetap saja aku yang salah. Dibilang aku yang terlalu sibuk bekerja," cibir Tata kemudian. Ia mendesah pelan. Netranya sekali lagi harus puas, masakan yang sengaja ia siapkan untuk sang suami, entah kapan akan dinikmati. "Padahal Mas Bhumi tahu, aku bekerja untuk siapa."
Jemari yang masih setia memegang ponselnya adalah saksi, betapa banyak pesan 'menuntut' yang Nilam beri.
Mbak, jangan lupa biaya berobat Ibu makin besar, lo. Mas Bhumi sudah kasih jatah untuk kebutuhan rumah, tapi Mbak tahu, kan, itu enggak cukup? Ridho baru kerja, Mbak. Jangan diandalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGAD UNTUK SEMESTA
Romantizm[Repost] . Blurb : Sulit akur dengan mertua, berdebat terus dengan ipar satu-satunya, diperparah pria berlabel suaminya itu ... ibarat kepala dilepas ujung kaki digelayuti, membuat Semesta terus menerus memupuk sabar. Sampai cintanya yang tulus diha...