***
Bhumi mengetuk pelan mejanya menggunakan ujung pulpen. Balon percakapannya dengan Tata masih memenuhi ponselnya. Satu pun tak ada balas dari wanita yang masih bergelar istrinya itu. Rasa geramnya memuncak seiring berjalannya waktu namun ia terlalu angkuh sekadar untuk bertemu. Tujuannya hanya ingin menanyakan mengenai sertifikat rumah mereka. Tapi kalau dipikir-pikir, ia yakin kalau putusan pengadilan pasti memihak padanya.
Ia utarakan bahwa, Semesta Lathika tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri. Pembangkang. Tak mematuhi apa yang ia perintah padahal bukan hal yang merugikan dan masih dalam koridor agama. Dua kali mediasi berjalan, dua kali juga Tata tak datang. Bagi Bhumi, tak ada hambatan berarti selama proses mediasi berlangsung. Semakin memperbesar keyakinannya kalau proses ini lebih banyak berpihak padanya.
Bibirnya menarik satu garis lengkung yang teramat tipis. "Jangan harap kamu bisa mendapatkan rumah itu, Ta." Tangannya pun terkepal pelan. "Kamu pasti menyesal nantinya."
"Sudah dari tadi, Mas?"
Bhumi sedikit berjengit. Segera ia tarik ponsel yang ada di atas meja. Menyembunyikannya secepat mungkin lengkap dengan menghias wajahnya dengan senyuman lebar. "Baru, kok." Diulurkan tangannya untuk menggenggam sang wanita. "Kenapa enggak ngabarin Mas kalau sudah ada di lobby? Bisa Mas jemput."
"Alah." Ratih tersipu. "Jalan dari lobby sampai ke sini enggak butuh waktu lama, Mas." Tangan yang masih saling tergenggam itu makin ia pererat. "Kangen," katanya penuh manja.
"Mas juga." Diusapnya pelan helaian rambut sang wanita. Matanya juga menatap penuh kagum karena baginya, ia lah yang paling cantik dalam hidupnya. "Gimana pekerjaan kamu? Lancar?"
Ratih, wanita itu menghela panjang. "Jangan bicara kerjaan, Mas. Capek banget aku ngurus masalah di Medan. Semuanya jadi kena audit."
Kening Bhumi berkerut. "Enggak bahaya?"
Senyum Ratih segera terbit. "Tenang saja. Aku biasa tangani itu, kok."
Bhumi mengangguk paham. "Mau makan apa?" Menu yang ada di dekatnya pun ia sodorkan pada sang wanita.
"Apa, ya? Mas sendiri maunya makan apa?"
Seringai Bhumi muncul. Sedikit mencondongkan diri pada sang wanita lalu berbisik lembut. "Mau kamu, boleh?"
Ratih tergelak. "Bisa aja, Mas."
"Kenapa memangnya?"
Ratih sengaja memainkan ujung tambutnya yang dibuat bergelombang kecil. Sudut bibirnya juga ia gigit pelan. Menggoda Bhumi seperti yang sering ia lakukan. "Sekarang?"
"Kamu pesankan hotel yang terdekat dari sini saja. Tapi sebelumnya, kita makan dulu, ya. Makan kamu butuh makanan yang lainnya."
Ratih menderaikan tawa. "Tapi kali ini jangan terlalu keras-keras, ya." Ia pun merengut kecil. "Nanti yang di dalam kesakitan."
Bhumi semakin mendekat dan mengusap perut Ratih yang masih terasa rata. "Iya. kali ini aku pelan-pelan. kemarin aku enggak tau kalau ada calon anakku di sini." Diambilnya lagi tangan Ratih, digenggam, dan lantas ia kecupi penuh sayang. "Pasti Ibu senang banget kalau tau kamu hamil. Ra."
"Masa, sih?" Sebenarnya Ratih agak khawatir juga, tapi kehadiran janin yang baru ia ketahui berusia empat minggu ini adalah pengikat tak kasat mata dalam hubungannya dengan Bhumi. Selesai perceraian pria yang masih memberi sentuhan di perutnya ini, ia pastikan kalau dirinya lah istri dari Bhumi Kaspia.
Bukan lagi Tata.
"Aku justru takut Ibu marah nantinya, Mas," kata Ratih dengan sendunya. Matanya juga sengaja dibuat memelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGAD UNTUK SEMESTA
Romansa[Repost] . Blurb : Sulit akur dengan mertua, berdebat terus dengan ipar satu-satunya, diperparah pria berlabel suaminya itu ... ibarat kepala dilepas ujung kaki digelayuti, membuat Semesta terus menerus memupuk sabar. Sampai cintanya yang tulus diha...