Keping. 10

2.1K 400 45
                                    

Jenni tiba di rumah sakit secepat yang ia bisa. Sebenarnya sejak kemarin hatinya sudah tak keruan. Sorot mata Tata tak bisa membohonginya; sahabatnya itu sangat kecewa. Dan sialannya, Jenni tak bisa melontarkan kekesalan yang ia punya pada Bhumi. Tuhan! Pria itu sungguh menyebalkan. Kenapa pria model seperti Bhumi bisa diberi napas panjang dan hidup di dunia ini?

Tak berguna!

"Anda ... Bu Jenni?" tanya Jagad hati-hati begitu melihat seorang wanita tergopoh menghampiri ruang rawat Tata. Ia tak bisa meninggalkan wanita ituu begitu saja. Agak kebingungan juga lantaran ponsel Tata terkunci dan nomor kontak darurat yang Jagad dapat dari pihak HRD, sama sekali tak merespon. Padahal nomor itu adalah nomor suaminya.

Dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, nama Jenni muncul di layar ponsel Tata. Jagad jelaskan apa yang terjadi dan sekarang di sini lah mereka.

"Benar," Jenni terssenyum kecil. "Pasti Pak Jagad?"

Jagad hanya mengangguk sekilas serta menerima uluran tangan Jenni. Berkenalan singkat dan juga pria itu utarakan kondisi terakhir Tata. Dokter bilang, Tata mengalami dehidrasi dan kelelahan yang cukup parah. Jagad sebenarnya penasaran kenapa bisa Tata alami hal seperti ini. Ditambah beberapa kali ia juga mendengar, racauan Tata yang pelan sekali namun mampu membuat Jagad berkali-kali mengerutkan kening.

"Jahat kalian."

"Terima kasih banyak dan maaf merepotkan Bapak."

Pemikirannya tentang Tata pun buyar. "Enggak jadi soal." Jagad kembali menatap wanita yang kini terbaring lemah ditemani selang infus di sisi kirinya. "Kalau begitu saya pamit?"

"Iya, Pak, silakan. Tata saya yang urus nantinya."

"Kalau bisa segera hubungi keluarganya. Jangan sampai mereka enggak tau kondisi Tata. Saya sudah berusaha untuk menghubungi tapi belum ada respon. Untuk administrasi sudah diurus menggunakan asuransi kantor."

Jenni hanya tersenyum simpul. "Sekali lagi terima kasih."

Lalu ia biarkan pria bersetelan rapi itu keluar ruang rawat sahabatnya. Sampai pintu itu melenyapkan sosok Jagad, barulah ia menghela panjang. "Mana bakalan keluarganya peduli," decihnya. "Astaga, Ta!" Ia pun segera mendekati sahabatnya. "Jangan bikin aku khawatir. Harusnya semalam aku temani kamu, ya, Ta."

Meski hanya ditemani bunyi mesin pendingin ruangan, tapi Jenni tak jadi soal. Ia menatap sahabatnya dengan sorot sendu. Tak menyangka kalau ini lah titik terendah dari seorang Semesta. Sepanjang mengenalnya, Tata tak pernah mengeluh. Ia hanya tersenyum menanggapi segala ocehan Jenni yang berkisar mengenai keluarga suaminya.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini, Ta?" Jenni sering kali mempertanyakan hal itu. Namun Tata seperti tak terlalu peduli. Ia hanya menarik sudut bibirnya tipis sekali dan berkata, "Entah sampai kapan, Jen. Padahal inginku sederhana sekali. Hargai aku. Itu saja."

Mengingat obrolan mereka membuat Jenni mendesah frustrasi.

Sementara Tata merasa pusing yang sejak semalam ia alami, belum jua berkurang. Malah ia merasa seluruhnya gelap. Yang ia ingat, ada Yessy yang menegurnya. Lalu ... Jagad. Benar. Jagad. Bosnya. Ia pun membuka mata dengan segera. "Aduh," lirihnya kesakitan lantaran tangannya terasa perih juga kepalanya yang makin pening. Sosok yang pertama kali ia lihat adalah Jenni yang mendekat segera.

"Kamu sudah sadar, Ta?"

"Aku ... di mana?" tanya Tata kembali memejam. Berusaha meredakan pening yang mengganggunya.

"Aku panggil dokter dulu, Ta. Yang jelas ini bukan kamarmu."

Tata meringis tipis. dibiarkan Jenni pergi dari sisinya yang ditandai dengan bunyi ketuk sepatunya yang bercumbu dengan lantai. Benar yang Jenni katakan, ia ada di rumah sakit. Selain selang infus, kamar yang didominasi warna putih ini pun salah satu buktinya. Pun aroma karbol serta obat-obatan yang khas sekali.

Tak lama berselang, dokter serta perawat datang. Memeriksa keadaan Tata dan memastikan wanita itu mendapatkan perawatan terbaik. Tata diam saja mendengar semua ocehan dokter. Tak satu pun ia bantah. Termasuk, "Ibu harus beristirahat yang cukup, ya."

"Aku kenapa?" tanya Tata sesaat setelah dokter keluar dari ruang rawatnya.

"Pingsan, Ta. Apa lagi?"

"Di kantor?"

Jenni mengangguk. "Yang bawa kamu ke sini Pak Jagad." Ia pun membenahi selimut Tata. "Makan, ya, Ta. Aku suapi."

"Enggak, Jen."

Wanita itu menghela pelan. "So ... kenapa kamu bisa pingsan? Apa yang Bhumi lakuin sama kamu di rumah, Ta?"

Tata tau maksud pertanyaan Jenni. Matanya menatap lekat sang sahabat lalu tersenyum miris. "Enggak ada. Malah bilang kalau dia benar-benar selingkuh."

"Bajingan!"

Memang Bhumi itu bajingan! "Malang betul nasib aku, ya, Jen."

Jenni menggeram kesal. "Ya enggak, lah. Kenapa malang? Artinya Tuhan masih baik sama kamu. Kamu dikasih lihat betapa berengsek suami kamu itu, Ta. Selama ini apa kamu dengar ucapan aku mengenai Bhumi? Keluarganya? Enggak, Ta." Jenni berusaha menekan emosinya. Kasihan kalau sampai Tata semakin kepikiran dengan apa yang ia ucapkan. Tapi bagaimana lagi? Jenni memang benar-benar sudah habis sabarnya melihat apa yang Bhumi lakukan pada Tata.

"Itu yang kubilang mati rasa, Jen." Bibirnya yang agak pucat berusaha sekali ia paksa untuk tersenyum. "Macam ... aku tinggal tunggu waktu di mana semuanya terjadi."

Jenni terdiam begitu juga Tata.

"Sakit banget rasanya, Jen." Tata mulai berisak. Bahunya pun mulai gemetar. Air mata yang ia pikir sudah mengering, mulai kembali menganak sungai di pipi.

Direngkuhnya tubuh Tata dengan lembut. Dibiarkan bahunya basah karena tangis sahabatnya. Juga ia beri usapan lembut untuk memberi Tata semangat. Selama mengenal Tata, sebenanrya sahabatnya ini bukan wanita bodoh. Rasa tak teganya sangat besar yang mana membuatnya sering dimanfaatkan. Sialnya, ia mendapatkan keluarga baru yang tak tau diuntung. Makanya ia berdoa, semoga Tata tak lemah. Apalagi Bhumi sudah sangat keterlaluan menurutnya.

"Apa yang akan kamu lakukan, Ta?" tanya Jenni pelan setelah merasa Tata sudah jauh lebih tenang.

"Cerai," sahut Tata pelan. meski matanya memerah karena tangis barusan, suaranya juga gemetar, namun untuk kali ini Tata memiliki satu keyakinan. Sudah cukup sampai di sini.

Mendengar hal itu membuat Jenni melebarkan senyum. "Aku dukung kamu, Ta."

Ucapan Jenni barusan membuat Tata terkekeh. Sembari mengusap sisa air matanya, ia pun berkata, "Biasanya kalau ada yang mau cerai selalu dibilang, dipikir dulu. Tapi kamu malah dukung aku, Jen."

Jenni berdecak. "Cerai untuk kamu itu yang terbaik, Ta. Tuhan juga tau, kok, kenapa kamu bercerai. Masa iya kamu hidup sampai ujung usia diperlakukan seperti ini terus? Capek, Ta. Kamu bukan robot. Kamu manusia, perempuan pula. Punya batas." Meski dengan banyak penekanan di tiap kata-katanya, Jenni menggenggam kuat tangan Tata yang terbebas dari selang infus. "Mungkin kalau masalah ekonomi atau bantuanmu ke keluarganya Bhumi masih bisa ditoleransi, tapi selingkuh?"

Tata menelan ludah.

"Aku merasa Bhumi main api enggak dalam waktu dekat ini, Ta. Enggak tau kenapa, feeling aja," tukas Jenni yang mana membuat Tata mengangguk sekilas.

"Bhumi bilang sudah dua tahun belakangan ini."

Ucapan itu membuat Jenni makin geram dengan tingkah pria bernama Bhumi itu. "Dia ngaku?"

Lagi-lagi Tata mengangguk.

"Gila memang orang itu!" Jenni tak habis pikir dengan Bhumi. "Buatku, Ta, pernikahan yang sudah dibumbui perselingkuhan, enggak ada kompromi lagi. Bahkan cinta yang katanya ada di sana, sudah lenyap. Semua sudah selesai."

***

Jangan lupa tinggalkan jejak komentar ya kakak sekalian.

JAGAD UNTUK SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang