Keping 28

2K 428 95
                                    

Tata bersikap sesantai mungkin. Meski ekor matanya terus mengamati baik-baik tiap gerak wanita yang duduk di depannya ini. Sudah sejak lima menit berlalu namun sang wanita tak kunjung bicara juga. Padahal Tata enggan sekali bertemu dengan wanita ini. Kalau saja bukan karena ada hal yang katanya penting untuk dibicarakan, Tata lebih memilih menghabiskan makan siang di kantin bersam Yessy dan Peoni.

"Mau apa kamu menemuiku?" tanya Tata akhirnya. Tak bisa ia biarkan waktunya habis berbuang hanya untuk wanita ini.

"Aku sebenarnya enggak suka berbasa basi, sih. Cuma takut melukai hati kamu."

Tata mengangkat cangkir coffe latte pesanannya. Diseruputnya pelan, merasakan campuran rasa yang menyapa ujung lidahnya. "Jangan buang waktu, Ratih. Lagi pula apa yang ingin kamu bicarakan pastinya tak jauh dari perselingkuhan kalian, kan?"

Ratih terkekeh jadinya. "Kamu jeli juga, ya."

"Sudah berapa lama?" Tata letakkan cangkir itu perlahan. Sejurus kemudian, ia tatap sang lawan bicara dengan tajamnya.

"Ehm ... mungkin dua atau tiga tahun lalu? Entah, ya, aku agak lupa. Yang jelas, saat aku bertemu Mas Bhumi, aku tau rasa cintanya masih ada untukku."

"Dan karena itu juga kamu rendahkan diri menjadi seorang penggoda?"

Wanita yang cantik dibalut blouse peach dengan celana longgar itu tertawa. Kali ini tawanya kentara sekali penuh ejekan. "Bukan aku yang menggoda, tapi suamimu yang tergoda. Lagian seharusnya kamu berpikir kenapa suamimu tergoda. Kurangnya kamu apa."

Tata menyeringai tipis. "Terima kasih sudah menggoda suami saya kalau begitu. Saya jadi tau, kurangnya saya di mana. Mungkin urusan ranjang yang kamu tawarkan jauh lebih menggoda ketimbang saya. Atau suaramu yang mendayu mesra mampu membuat Bhumi berpaling. Enggak jadi soal, Ratih. Justru darimu saya belajar, siapa tau kelak memiliki suami lagi, saya tau harus melakukan apa agar suami saya di masa depan tak tergoda perempuan kelas tinggi macam kamu." Ucapan itu terlontar pelan namun penuh penekanan dalam tiap katanya.

Belum lagi sorot mata Tata yang mengintimidasi lawannya. Membuat Ratih menggeram kesal. Tangannya yang semula santai, ia kepal kuat. "Percepat perceraian kalian," desis Ratih dengan muaknya. Ia tak bisa menunggu Bhumi benar-benar resmi bercerai dengan istrinya ini.

"Tenang saja, Ratih," Tata berdiri segera. Urusannya sudah selesai di sini. "Kamu pasti tau aku enggak akan datang selama mediasi, kan?"

Ratih terdiam. Diamnya juga membuat Tata yakin, tak ada yang tidak dibicarakan Bhumi mengenai prosesi perceraiannya pada Ratih.

"Aku sungguh bersyukur kamu merebut Bhumi dariku, Ratih. Aku jadi tau kapasitas Bhumi untuk hidupku. Enggak akan lama, kok, surat cerai kami keluar. Aku enggak ingin berurusan lama dengan kalian," kata Tata yang sudah berdiri persis di samping Ratih. Sebelum ia benar-benar keluar dari kafe yang tak jauh dari kantornya itu, ia pun sedikit menunduk. Berbisik tepat di telinga Ratih.

"Tapi jangan pernah sesali, begitu kamu masuk ke dalam hidup Bhumi, keluarganya akan menampakkan wajah yang asli."

Lalu Tata melangkah begitu saja. Meninggalkan Ratih yang mungkin saja semakin terbakar rasa kesalnya. Ia tak peduli. Pandangannya agak memburam mungkin karena mendadak matanya berkaca-kaca. Ucapan Ratih berdampak cukup besar padanya. Ia sudah menduga adanya hubungan khusus di antara mereka, tapi bodohnya, sudah selama ini? Ia tak tau? Terlalu buta kah ia sampai tak menyadari banyak kebohongan yang Bhumi berikan untuknya?

Sudah diselingkuhi sejak lama, disudutkan karena tak kunjung memiliki anak, namun uang yang Tata punya selalu direcoki oleh orang-orang yang hampir setiap waktu merendahkannya. Adakah pembelaan dari Bhumi? Sama sekali tidak. Ditambah hari ini dengan penuh bangga si selingkuhan bertemu dengannya? Apa yang diminta? Mereka segera bercerai? Astaga, sial sekali nasibnya.

Tata menghela panjang. Diusapnya perlahan dadanya yang bergemuruh. Sudut matanya pun segera ia usap untuk menghapus jejak air mata. Jangan sampai saat ia kembali ke ruangannya, dirinya tampak seperti habis menangis. Jam makan siang memang masih berlangsung, tapi tak menutup kemungkinan ada staff lain di sekitar ruangannya, kan?

Betapa terkejutnya ia—setelah memastikan dirinya sudah lebih tenang, sebuah paper bag berlogo salah satu bakery yang ia gemari ada di mejanya. "Dari siapa?" tanyanya pelan. Dikeluarkannya isi dari paper bag tadi di mana terdapat beberapa slice roti manis kesukaannya. Dan juga satu kartu ucapan di sana.

Ucapan terima kasih karena kamu sudah mau repot-repot menjaga Echa. Saya perhatikan akhir-akhir ini kamu selalu telat makan? Jaga kesehatan, Ta.

Jagad Adi.

Mau tak mau senyum Tata tersungging di wajahnya. Matanya dengan cepat mengedar untuk memastikan sang pengirim apakah ada di dekatnya atau tidak. Ah ... Tata lupa. Ini jam makan siang. Pastinya Jagad keluar kantor. Namun ...

"Suka dengan bingkisannya, Ta?"

"Astaga!" Tata berjengit saking kagetnya. Sosok yang ia cari berdiri tak jauh di belakangnya. "Bapak hobi sekali mengejutkan saya."

"Masa, sih? Memangnya kamu enggak dengar saya masuk?"

Tata memejam kuat.

"Kebanyakan melamun kamu, Ta." Jagad menarik salah satu kursi yang ada di ruangan Tata. Duduk tanpa perlu mendapatkan izin. "Sejak kembali dinas dari Bali, saya perhatikan kamu lebih banyak diam. Kadang juga enggak fokus dengan diskusi kita. Ada masalah?"

Apa kentara sekali perubahan sikap Tata? Ia berpikir jadinya. Memang sejak semingguan belakangan ini, ada sesuatu yang menganggunya. Tapi ia tak bisa mengatakan begitu saja karena sungguh, ini sangat pribadi. Rasanya kalau Tata tanyakan, bisa jadi sangat bersinggungan dengan Jagad. Dan lagi, permasalahan pribadinya pun menguras sekali emosi juga energinya.

Terutama berurusan dengan Bhumi dan keluarganya. Tuhan, kalau saja stok sabar bisa dibeli, pasti Tata membeli sebanyak mungkin untuk menghadapi orang seperti mertua dan adik iparnya.

"Enggak, Pak." Tata segera menarik lebar senyumnya. "By the way, terima kasih rotinya. Semua saya suka."

Senyum Jagad juga tak kalah lebar jadinya. "Syukur lah kalau kamu suka, Ta. Saya bisa sering-sering belikan untuk kamu nantinya."

"Jangan merepotkan seperti itu, Pak. Saya sungkan jadinya."

"Kenapa?" Jagad mengernyit bingung. "Saya suka memberi sesuatu untuk kamu."

"Jangan seperti itu, Pak." Tata sedikit meremas ujung paper bag tadi. "Saya enggak jadi soal kalau direpotkan terutama berkaitan dengan Echa. Tapi saya enggak bisa terus menerus menerima kebaikan Bapak. Saya takut ... ada maksud terselubung di dalamnya."

Jagad mengerjap pelan. Mencerna dengan cepat ucapan yang baru saja masuk ke telinganya. "Terselubung?" ulang Jagad pelan. Setelahnya, Jagad tertawa. "Astaga, Ta. Saya enggak ada maksud ke arah sana. Sungguh. Saya masih paham batasan, Ta."

Tata semakin kuat meremas paper bag. "Maaf kalau itu menyinggung Bapak."

"Saya suka memberikan kamu, yah ... bisa dibilang itu juga bukan barang yang mahal, kan, Ta? Hanya sebatas roti, kopi, coklat, atau sekadar menu makan siang? Apa itu berlebihan untuk seseorang yang menganggap kamu teman baik?"

Wanita itu jadinya menunduk dalam.

Terdengar bunyi decit pelan pertanda Jagad mendorong kursi yang ia duduki. "Maaf kalau kamu terganggu dengan hal itu, Ta. Saya benar-benar enggak ada maksud apa pun." Pria itu pun memiih untuk keluar dari ruangan Tata. "Saya merasa kamu agak berbeda sejak kepulangan dari Bali, Ta." Ia pun menghentikan langkahnya persis di ambang pintu. "Bisa kah saya tau apa yang menganggu kamu? Sebelumnya saya merasa hubungan kita dekat, Ta." Buru-buru Jagad meralat ucapannya. "Dekat dalam arti teman, Ta. Bukan hubungan aneh yang mungkin ada di pikiran kamu sekarang."

Tata sama sekali tak menjawab pertanyaan Jagad. Dibiarkan Jagad keluar dari ruangannya begitu saja. Tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Ia menghela frustrasi jadinya. Duduk di kursinya pun dengan rasa tak keruan. Andai saja bukan satu perkataan yang terus saja mengusiknya, mungkin ia senang mendapatkan sedikit perhatian dari Jagad.

"Memangnya Mbak pikir kami ini sudah bercerai? Apa yang Jagad katakan sama Mbak? Kami sudah lama berpisah? Belum, Mbak. Jagad masih suami saya."

****

Kakak sekalian jangan lupa komentnya, yaaaa

JAGAD UNTUK SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang