2. Anakmu?

8.6K 677 19
                                    

Jelita hanya mendesah keras melihat Megan yang selama beberapa hari ini menghabiskan waktu lebih banyak berbarimg di tempat tidur. Menangis diam-diam, melamun, dan tak berselera makan. Mereka bahkan sudah membatalkan beberapa jadwal pemotretan karena keadaan wnaita itu yang tak memungkinkan.

Sekali lagi Jelita menunduk. Menatap sedih foto pernikahan yang masih tersimpan di dompet Megan dan tergeletak di nakas. Semalaman wanita itu pasti tak bisa tidur memandangi foto tersebut dan menangis melihat bengkak di kedua mata Megan yang semakin parah.

‘Aku jatuh cinta, semua terasa begitu indah, tapi aku tak menyangka bahwa pernikahan bisa terasa begitu menekan diriku.’

‘Saat itu aku masih begitu muda dan aku tak pernah tahu bagaimana cara menjadi seorang ibu.’

Jelita teringat ucapan Megan, untuk pertama kalinya wanita itu sedikit membuka tabir kehidupan yang selama ini terpendam dalam-dalam. Tujuh tahun lalu, jadi ini alasan Megan tak menyelesaikan kuliah dan meninggalkan keluarga untuk pergi ke luar negeri. Melepaskan suami dan seorang putra karena impian masa muda.

“Megan.” Jelita menyentuh pundak Megan yang berbaring miring memunggunginya. Menggoyang pelan membangunkan wanita itu.

Perlahan kelopak mata Megan terbuka, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang begitu terang. Sebelum kemudian menemukan wajah Jelita yang duduk si pinggir ranjang dan aroma bubur ayam berasal dari nampan di nakas.

Enggan bangun, Megan menarik selimut kembali menutupi pundak. “Aku tidak ingin ke mana pun,” katanya kembali memunggungi Jelita.

Jelita mendesah pelan, membuka selimut Megan hingga kaki. “Bangunlah, Megan. Kau tidak bisa seperti ini terus menerus.”

Megan bangun, hanya untuk mengambil selimut di ujung tempat tidur.

“Sampai kapan kau akan berbaring seperti ini, huh?” Suara Jelita lebih keras.
Megan bergeming.

“Hanya karena kesalahan di masa lalumu, sekarang kau ingin kembali menghancurkan hidupmu, huh?”

Megan tetap bergeming. Menutup selimut hingga ke kepala dan meringkuk seperti bola.
Jelita tak kehilangan akal. Sekali lagi ia menarik selimut, saling tarik dan akhirnya ia berhasil mengalahkan kekuatan Megan yang sudah beberapa hari kekurangan gizi. Melempar selimut itu jauh dari tempat tidur.
Megan bangkit, tetapi melihat selimut yang berada jauh dari jangkauan tangannya membuatnya menatap Jelita dengan kesal. “Aku tidak butuh semua ini!” teriaknya.

“Lalu apa kau akan membuang semua pencapaianmu seperti kau membuang suami dan anakmu, huh?”

Megan membeku, kata-kata yang dihujamkan Jelita tepat mengenai dadanya. Tubuh Megan meluruh, membekap wajah dengan kedua telapak tangan dan terisak.

Mata Jelita terpejam, menyesali kata-katanya tetapi tak ada cara lain untuk menghentikan Megan menghancurkan dirinya sendiri. Ia kembali duduk di pinggiran ranjang dan memeluk Megan. Membiarkan wanita itu melanjutkan tangisan hingga puas.

“Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sini,” isak Megan menurunkan kedua tangan dari wajah dan menepuk-nepuk dadanya yang terasa dicenngkeram. “Dia begitu nyata. Aku ingin menyentuhnya, tapi … bahkan keingian sekecil itu membuatku merasa malu pada diriku sendiri.”

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang