12. Setuju?

4.4K 354 14
                                    

"Kesepakatan yang tak akan kau dapatkan dari siapa pun. Termasuk Mikail," Nicholas melanjutkan tawarannya dengan salah satu alis yang terangkat. Rayuan dan bujukan yang begitu kental menyelimuti kedua mata pria itu. "Tak ada kesepakatan yang lebih sempurna dari ini, Megan. Bahkan sebesar yang bisa kau harapkan dari Mikail."

Tawaran Nicholas terdengar begitu menggiurkan. Dan Megan bersumpah, Nicholas mengatakan yang sesungguhnya. Persetujuan sudah berada di ujung lidahnya, akan tetapi jawaban itu segera melebur. Ia tak mungkin membuat kesepakatan dengan Nicholas. Pria itu jelas tidak lebih baik dari Mikail. Megan pun segera menampilkan ketidak peduliannya, yang tentu saja Nicholas melihatnya sebagai sesuatu yang sengaja dibuat-buat.

"Kau membutuhkanku, Megan. Itu yang tak ingin kau akui."

Wajah Megan mengeras dengan jengkel dan membalas dengan telak. "Aku tahu apa yang kau inginkan, Nicholas."

Seringai tersungging di kedua ujung bibir Nicholas, mengiyakan jawabah Megan dengan tanpa sungkan-sungkan dan membalas. "Ya, kita berdua tahu apa yang kuinginkan, Megan."

Bibir Megan menipis tajam. "Dan kau tak akan mendapatkan apa pun yang kauinginkan dariku," tegasnya.

Keyakinan dan ketegasan dalam jawaban Megan malah membuat Nicholas terbahak. "Lalu, apakah egomu akan mengalahkan nalurimu sebagai seorang ibu? Itu adalah pertanyaan yang sesungguhnya."

Dan pertanyaan sesungguhnya Nicholas berhasil membuat ekspresi di wajah Megan membeku. Megan tentu saja tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Naluri dan egonya sama kuatnya, yang wanita itu sendiri tak yakin manakah yang akan menang.

Pintu lift berdenting dan Megan mendorong dada Nicholas menjauh dari pintu. Kali ini pria itu membiarkan tubuhnya disingkirkan dari jalan Megan, dengan senyum kepuasan yang membuat Megan semakin dongkol.

"Aku yakin kau akan datang padaku tak lebih dari dua puluh empat jam, Megan. Dan kau tahu tanganku selau terbuka untukmu. Sampai kapan pun kau menginginkannya."

Megan tak sungguh-sungguh mendengarkan kalimat Nicholas meski telinganya menangkap semua perkataan tersebut. Wanita itu melangkah keluar dari lift tanpa mengurangi kecepatan langkahnya. Di pintu keluar gedung, Megan langsung menemukan Jelita yang menunggunya. Membawanya ke mobil mereka yang sudah siap. Sepertinya yang ia inginkan.

Megan membanting pantatnya di jok belakang. Dengan bayangan keakraban antara Nicholas dan Kiano yang membuatnya gusar. Cara Kiano tersenyum, cara Kiano memanggil Nicholas, cara Kiano tertawa terbahak karena Nicholas, dan cara Kiano datang ke pelukan Nicholas. Semua itu membayang dengan begitu jelas di benaknya dan tak berhenti menggusarkan perasaannya.

"Kenapa? Apa tuan Matteo membuat suasana hatimu kembali kacau?"

Megan menghela napas panjangnya, kemudian menggeleng dan menjawab, "Bukan Mikail, tapi Nicholas."

"Tuan Matteo yang lain?"

Megan mengangguk, kemudian memutar kepalanya ke arah Jelita. "Apa kau tahu Nicholas ternyata sangat dekat dengan putraku?"

Kerutan di kening Jelita semakin dalam dan Jelita mencerna penjelasan Megan lalu menggeleng.

Megan tampak mendesak dengan gusar dan mengerang dalam. "Aku semakin membencinya. Dia merebut segala hal yang bahkan baru saja kumiliki. Rasanya aku tak bisa lebih benci lagi dari ini, Jelita."

Jelita tampak menghela napas panjang dengan kelembutannya, wanita itu berkata, "Jangan terlalu membencinya, Megan. Aku takut perasaanmu yang berlebihan ini malah akan membuatmu menelan ludahmu sendiri."

Amarah seketika menghiasa raut wajah Megan dan kedua matanya mendelik penuh peringatan ke arah Jelita. "Apa maksudmu, Jelita?"

Jelita menatap protes yang teramat dalam di kedua mata Megan dan memilih menjauh dari perdebatan melihat suasana hati Megan yang sedikit lebih rumit. Jelita pun menggelengn sambil menjawab, "Tidak ada. Aku hanya mengatakan saja. Dan shhh, sekretaris tuan Matteo sudah meminta maaf atas ketelodarannya."

Megan tak mengatakan apa pun. Tetapi kemudian pandangannya beralih pada kantong berisi mainan anak laki-laki yang diletakkannya di kursi jok depan. Kembali teringat kata-kata Nicholas. Megan pun menggelengkan kepalanya dan menepis penawaran menggiurkan Nicholas. "Dua hari lagi ulang tahub Kiano," ucapnya kemudian dengan napas yang terhela dan bersandar pada jok.

Jelita kembali menatap kepedihan di mata Megan. Tetapi tak mengatakan apa pun. Dan sepanjang sisa perjalanan, keduanya diselimuti keheningan.

***

Megan tak berhenti menyumpahi Nicholas, setelah sepanjang sisa hari di dalam apartemennya. Dan penawaran menggiurkan Nicholas juga tak berhenti berputar di kepalanya. Yang membuatnya berada dalam perjalanan menuju salah satu restoran di pusat kota pada jam sembilan malam ini. Demi menemui Nicholas yang sudah menunggu kedatangannya sejak setengah jam yang lalu.

Kepalanya tertunduk, menatap ponselnya yang bergetar menampilkan nama Nicholas Berengsek. Yang baru beberapa jam lalu masuk di salah satu kontaknya. Entah bagaimana Jelita mendapatkan nomor itu dengan mudah saat ia memintanya.

Dalam hati Megan mendengus akan ketidak sabaran Nicholas. Yang terus memantau kedatangannya setelah ia menghubungi lebih dulu dan mengatakan ingin bertemu. Menyerah pada egonya.

"Ini bahkan belum dua puluh empat jam, Megan. Kau ingin aku menutup panggilanmu dan menghubungiku lagi besok siang?"

"Ya. Tetapi besok siang pastu kewarasanku sudah kembali dan kesepakatanmu tidak akan terdengar menarik bagiku."

Suara Nicholas terkekeh dari seberang.

"Katakan di mana aku harus menemuimu?"

Kekehan Nicholas berhenti. Kemudian pria itu mengatakan salah satu nama restoran. Yang Megan yakin sudah disiapkan Nicholas untuk pertemuan malam ini dengannya. Sungguh picik, batin Megan jengkel.

Sekali lagi Megan menghela napas panjang ketika kecepatan mobil mulai menurun dan mobip berhenti tepat di depan teras restoran. Ia mengulurkan tangan dan membuka pintu. Langsung turun dan sebelum kewarasannya benar-benar kembali, Megan berjalan masuk. Mengatakan ruangan yang diinginkannya dan greeter mengantarnya pada salah satu pintu di antara deretan pinti pribadi, yang tentu saja sudah dipesan Nicholas dengan segala cara demi makan malam sempurna pria itu bersamanya.

Megan menekan kuat-kuat kedongkolannya dan pintu terbuka bahkan sebelum ia mengulurkan tangan untuk mengetuk. Memunculkan senyum menawan Nicholas, yang mengenakan pakaian rapi dan rambut yang disisir tak kalah sempurnanya. "Selama malam, malaikatku," sambut Nicholas sembari mengulurkan tangan.

Megan hanya menatap tangan Nicholas dengan raut yang lebih dingin, kemudian melangkah masuk tanpa menerima sambutan tersebut. Tetapi tak bisa menolak perhatian Nicholas yang menarikkan kursi untuknya.

Begitu Megan duduk dan Nicholas mengambil tempat di seberang meja, ia pun langsung berkata tanpa basa-basi. "Katakan dengan detail apa kesepakatan yang kau tawarkan."

Senyum di wajah Nicholas membeku untuk sejenak. Tetapi dalam hitungan detik, raut wajah pria itu kembali semringah. Dan kelicikann berkilat di kedua matanya ketika menjawab, "Aku lapar. Bisakah kita membicarakannya setelah makan malam selesai?"

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang