28. Berubah Pikiran

3.7K 363 6
                                    


Menjelang pagi, Megan masih tak bisa memejamkan matanya. Pikiran dan hatinya masih dipenuhi tentang Mikail dan pernikahan yang pria itu inginkan. Ia masih berbaring di tempat tidur hingga hari berubah siang. Cairan infusnya sudah habis dan dokter datang satu jam yang lalu untuk menggantinya. Menanyakan beberapa hal yang tak sungguh-sungguh Megan dengan dan jawab dengan benar. Tetapi dokter itu mengatakan bahwa kondisinya masih belum pulih benar dan harus meminum makan dan minum obat, yang tidak juga ia laksanakan. Tidak ada Jelita yang memaksanya melakukan semua itu seperti biasanya ketika ia sedang sakit.

Jelita masih juga tak bisa dihubungi dan Megan tak ingin menghubungi Mikail untuk menanyakan managernya itu pada Mikail. Megan percaya Jelita baik-baik saja seperti yang dikatakan Mikail. Dan itu lebih dari yang diinginkannya untuk Jelita.

Suara sering ponsel membuat Megan tersentak dengan keras. Melihat nama Nicholas sebagai pemanggil nya. Megan mengangkat benda pipih itu dan menelan tombol hijau. Megan sendiri tak tahu apa yang mendorongnya melakukan tindakan tersebut. Saat ini ia begitu kesepian. Jelita tidak ada dan Nicholas tiba-tiba menghubunginya. Megan tidak melewatkan kesempatan untuk membutuhkan seseorang di sisinya. Ia benar-benar butuh sandaran. Seseorang yang bisa diajaknya untuk bicara.

"Hallo, Nicholas?" Suara serak Megan

"Megan?" Kelegaan mengaliri suara Nicholas mendengar suara wanita itu menjawab dari seberang. "Apa yang terjadi? Kenapa kau ...." Nicholas tersengal. Menghela napas panjang demi menenangkan emosi yang memenuhi dadanya. "Di mana kau sekarang? Kau tahu kita butuh bicara,kan?"

"A-aku ... di apartemen."

"Kau ingin aku naik ke atas atau ..."

"Aku akan menemuimu."

"Ok. Aku di jalanan depan gedungmu. Setelah aku membuat keributan di depan apartemenmu, wajahku cukup terkenal dan aku tak bisa masuk."

"Aku akan turun."

"Baiklah. Bisakah kau turun dalam lima menit."

"Ya." Megan memutus panggilan dan melempar ponselnya ke tempat tidur. Kemudian berjalan ke ruang ganti untuk mengambil blasernya dan bergegas keluar. Sampai di lobi, Megan bergegas berjalan keluar. Mengabaikan keamanan yang menawarkan mencarikan taksi untuknya dan terus berjalan ke jalanan. Begitu ia melihat mobil milik Nicholas, rupanya pria itu sudah ada di sampingnya. Langsung memeluknya.

"Kupikir aku tak akan melihatmu lagi."

Megan terkejut, suara jepretan dan kilatan yang tertangkap dari sudut matanya menyadarkannya akan seseorang yang mengambil gambar mereka secara diam-diam. "Nicholas?"

Nicholas yang menyadari hal tersebut pun, memutar wajahnya. Mengurai pelukannya dan menghampiri seseorang yang berada di samping tanaman tinggi halaman gedung. Megan menunggu, mengamati Nicholas yang dengan serius berbicara dengan pria muda yang mengenakan topi dan pakaian serba hitam. Nicholas mengambil kamera di tangan pria itu, memeriksanya beberapa saat dan mengembalikan pada sang pemilik sebelum memberi peringatan lalu kembali pada Megan.

"Masuk ke mobilku." Nicholas mengarahkan Megan menuju mobilnya. Membuka pintu untuk wanita itu dan memastikan sabuk pengaman terpasang dengan baik sebelum memutari bagian depan mobil dan duduk di balik kemudi.

Megan tak bertanya ke mana Nicholas akan membawanya, tetapi setidaknya ia memiliki seseorang yang sedang bersamanya. Jelita, wanita itu pasti baik-baik saja, Megan mengingatkan dirinya.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau tidak turun kemarin?"

Megan masih terdiam, mempertimbangkan jawaban apa yang harus dikatakannya ada Nicholas, tanpa harus menyinggung perasaan pria itu.

"Apa yang dilakukan Mikail padamu?"

Megan tetap diam. Pandangannya masih terarah ke depan tetapi benaknya jelas tak ada di sana. "Aku lapar. Bisakah kita mendapatkan makanan," ucapnya. Mencari waktu lebih banyak untuk mengulur pembicaraan utama mereka. Ia butuh lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan keputusannya. Dan perlukah Nicholas tahu?

Megan tak pernah mempertimbangkan apa yang pendapat Nicholas tentang keputusannya, sebelum ia benar-benar mengenal pria itu. Sebelum ia membiarkan pria itu melangkah lebih jauh ke dalan privasinya. Merasakan ketulusan pria itu dan sekarang ia tak bisa mengabaikan hal tersebut. Kenapa Nicholas tidak tetap menjadi memuakkan seperti sebelumnya. Sehingga ia tak perlu merasa tak enak hati jika ia memutuskan benar-benar akan kembali pada Mikail.

Megan tak pernah mengira kesempatannya kembali ke hidup Kiano akan menjadi selebar ini. Meski ia menyadari kesempatan itu tak benar-benar menjadi kesempatan. Melainkan hukuman yang diberikan Mikail padanya.

Pernikahannya jelas tak akan menjadi seperti pernikahan mereka sebelumnya. Dan Megan yakin pernikahan itu akan menjadi lebih kacau dari sebelumnya. Namun, setidaknya ia bisa bersama Kiano. Bisa memeluk darah dagingnya dengan leluasa. Bahkan ... benar-benar menjadi seorang ibu. Peran yang selama ini ia hindari. Naluri yang selalu ia tekan dalam-dalam setiap mengingat hari itu.

***

"Mikail?" Alicia yang hendak ke ruang makan untuk membawakan makan pagi Kiano terhenti dengan kemunculan Mikail dari arah ruang tamu. Kemudian pandangannya turun ke arah kunci mobil yang ada di tangan pria itu. "Apa kau baru dari luar?"

Mikail ikut berhenti. "Apa dokter Kinan sudah datang?"

Alicia menggeleng, mengangkat pergelangan tangannya sejenak. "Sepertinya dalam perjalanan. Dia berjanji akan datang jam tujuh, kan?"

"Kau sudah melihat Kiano?"

"Ya, dia masih tidur. suhunya juga sudah kembali normal. Aku baru saja akan membawakannya sarapan ke atas."

Pandangan Mikail turun ke perut Alicia. Dan tiba-tiba saja benaknya teringat akan kehamilan Megan bertahun-tahun yang lalu. "Jangan terlalu sering naik turun tangga, Megan. Kau tahu kau sedang hamil, kan?"

Raut wajah Alicia membeku. "Megan?"

Mikail mengerjap, menatap keheranan di wajah Alicia. "Maaf. Biarkan pelayan yang membawakan makanan Kiano. Kau istirahatlah."

"T-tapi ..."

"Tidak apa-apa." Mikail berjalan melewati Alicia, menuju tangga. Meinggalkan Alicia yang masih terbengong. "Megan?" gumamnya lirih. Merasa tak asing dengan nama tersebut.

"Megan Ailee?" Kerutan di kening Alicia semakin dalam. Keheranan di wajahnya seketika berubah menjadi kepucatan.

***

"Kenapa kau diam saja, Megan? Apa kau berubah pikiran?" Nicholas menyentakkan Megan dari lamunannya. Keduanya sudah duduk di salah satu meja restoran yang bisa Nicholas dapatkan secepat mungkin di pinggiran jalan. Sejak masuk ke dalam restoran, wanita itu hanya diam. Bahkan untuk menu makanan, Nicholas yang memilihkan.

Megan mengerjap, menatap Nicholas yang ada di seberang meja dan hanya menjawab dengan gelengan singkat.

Nicholas terdiam. Mengamati lebih dalam ekspresi wajah Megan yang tampak sibuk dengan benaknya sendiri. Satu-satunya pilihan hanyalah memberi waktu bagi wanita itu sendiri.

Pesanan mereka datang, dan Megan masih terlalu banyak sering melamun. Nicholas tak tahu apa yang wanita itu pikirkan. Tetapi jelas ada hubungannya dengan Mikail dan Kiano. Kegugupan mulai menyelimuti hatinya. Apakah Megan akan berubah pikiran?

"Kau tidak lapar, Megan."

Wajah Megan tertunduk, menatap makanannya yang nyaris tak tersentuh sedangkan isi piring dan cangkir Nicholas sudah tandas. Dan Nicholas tidak bertanya.

Perutnya memang lapar, sejak dua hari yang lalu. Megan tak ingat kapan terakhir kali makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Yang ia ingat, apa pun yang masuk ke dalam mulutnya terasa begitu hambar karena selera makannya benar-benar raib sejak Mikail datang di apartemennya dua hari yang lalu.

"Wajahmu sangat pucat, Megan. Kapan terakhir kali kau makan sebelum ini?"

Megan tak menjawab, dan bukan itu yang perlu ia pedulikan sekarang. "Nicholas?"

Nicholas menutup mulutnya, menatap lekat-lekat keseriusan yang mulai menyelimuti wajah Megan.

"Tadi malam Mikail mendatangiku."

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang