19. Keinginan Kiano

3.7K 343 13
                                    

Setelah memastikan penampilannya sempurna di depan cermin, Megan mengambil ponselnya di nakas dan mengetikkan pesan singkat pada Nicholas.

'Aku sudah siap.'

"Kau akan keluar?" tanya Jelita yang sudah membawa nampan berisi makan malam untuk Megan. Menatap dengan kesal pada Megan.

Megan memutar tubuhnya, menatap namanya tersebut dan meringis penuh penyesalan. "Maaf, aku tak sempat memberitahumu."

Jelita mendesah lirih, memberengut kesal. "Kau selalu lupa memberitahuku jika memiliki jadwal dadakan, Megan," gerutunya sambil meletakkan nampan di meja. Kemudian berjalan menghampiri Megan, dengan kedua mata yang memicing tajam. Mengamati penampilan Megan dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau akan makan malam dengan seseorang?"

Megan menghindari tatapan menelisik Jelita dengan mengambil tasnya di meja. Membuka dan terlihat berpura-pura memastikan semua barangnya ada di dalam sana. "Aku harus pergi sekarang. Jangan tunggu aku pulang. Kembalilah ke apartemenmu," ucapnya kemudian berjalan ke arah pintu melewati Jelita.

"Dengan Nicholas?"

Pertanyaan Jelita menghentikan gerakan tangan Megan yang sedang memutar handle pintu. Saat wanita itu berbalik, ia melihat Jelita yang berdiri menghadapnya dengan ponsel miliknya yang terayun di udara. Menampilkan panggilan masuk dari dari Nicholas di layar ponselnya.

Megan bergegas menghambur ke arah Jelita dan menyambar ponsel tersebut dari tangan sang manager. "Aku memiliki beberapa urusan dengannya."

"Urusan pribadi, aku tahu."

Megan terdiam sejenak. Begitu pun Jelita. Membiarkan suara getaran pelan dari ponsel Megan menjadi satu-satunya suara yang menyelimuti keheningan di antara keduanya. Hingga panggilan itu berhenti.

"Kau tahu aku tak punya pilihan, Jelita."

Jelita mengangguk.

"Nicholas cukup dekat dengan Kiano."

Jelita mengangguk lagi.

"Nicholas menawarkan sesuatu yang sulit kutolak."

Jelita masih mengangguk.

Megan berkerut kening dengan kediaman Jelita yang tak biasanya. Tidak seperti biasanya yang selalu mendukung apa pun keputusan nya. "Kenapa kau diam saja? Kau tak suka hubunganku dan Nicholas menjadi lebih baik? Bukankah kau yang selalu memintaku untuk lebih bersahabat dengannya demi chemistry kami di hadapan layar dan publik. Yang akan semakin menunjang karirku."

Jelita tetap mengangguk.

"Kau suka atau tidak, Jelita?" tanya Megan yang semakin gusar akan kebisuan Jelita.

"Kau tahu Mikail tak akan membiarkan jalanmu semudah itu, Megan."

Mulut Megan sudah terbuka, tetapi tak ada sepatah kata pun yang berhasil keluar dan mulutnya kembali terkatup.

Jelita melangkah maju dan memegang kedua pundak Megan. Sedikit menekannya. "Dia tahu apa yang sedang kau rencanakan. Dan dia tidak suka itu."

Megan membenarkan hal tersebut tetapi tidak mengatakan apa pun. Dan tujuan Mikail melakukan semua itu adalah demi menghukum dirinya. Dendam pria itu bisa Megan rasakan dari cara pria itu menciumnya tadi pagi di lift. Yang bahkan jejak panasnya masih membekas di bibirnya.

Mikail ingin memastikan dirinya menerima penyesalan yang lebih besar. Yang tak sanggup Megan terima. Menginginkan dirinya hancur sehancur-hancurnya. Menjadi kepingan yang tak berbentuk di bawah kaki pria itu. Dan saat Mikail menginginkan hal tersebut, tak ada jalan bagi Megan untuk menerima hal yang sebaliknya.

Akan tetapi, yang tidak diketahui oleh Mikail adalah bahwa dirinya sudah hancur. Dan tak ada apa pun lagi yang perlu pria itu hancurkan darinya.

"Setidaknya aku sudah mencoba dan tak akan menyesalinya apa pun hasilnya, Jelita." Kalimat Megan terdengar begitu menyayat hati. "Aku tak bisa hidup dengan penyesalan yang lebih banyak lagi."

Jelita menghela napasnya panjang. Menatap dalam-dalam emosi di kedalaman mata Megan. Masih dan hanya ada penyesalan serta kekosongan yang memekati hati wanita itu. Dan Jelita tak yakin apakah itu bisa membaik dan pulih. Kemudian wanita itu mengangguk, kedua telapak tangannya bergerak naik dan merangkum wajah Megan. Menyalurkan kekuatan untuk wanita itu. "Aku akan selalu mendukungmu, Megan."

Megan hampir menangis, tetapi segera mengerjapka matanya karena peringatan Jelita. "Jangan buat aku memperbaiki riasanmu, Megan. Kau sudah terlambat. Aku yakin Nicholas sudah menunggumu di bawah."

Megan mengangguk, menyentuh ujung mata dengan ujung jarinya. "Aku harus pergi."

"Pergilah." Jelita melepaskan pegangannya dan menatap punggung Megan yang segera menghilang di balik pintu kamar.

Wanita itu masih tertegun menatap pintu kamar yang sudah tertutup. Hingga kemudian getar ponsel miliknya membangunkannya dari lamunan.

Jelita menghampiri meja tempat ponselnya tergeletak dan melihat nama 'Mikael Matteo' sebagai pemanggil. Raut wajahnya diselimuti kebimbangan. Sampai panggilan itu berakhir. Kemudian menyusul panggilan kedua, yang sengaja Jelita abaikan dengan membalik layar ponselnya lalu berjalan keluar kamar membawa nampan berisi makan malam Megan. Berharap apa pun yang terbaik bagi Megan.

***

Dalam geraman yang menggetarkan dadanya, Mikail membanting ponselnya ke lantai.

"Cari tahu tentang manager kepercayaan mantan istriku. Aku ingin informasi sedetailnya sebanyak mungkin. Rahasia tergelap yang bahkan tidak diketahui oleh dirinya sendiri," perintah Mikail pada kepala pengawalnya yang tengah berdiri dengan siaga di ambang pintu toilet. Memastikan tidak ada siapapun yang mendekati tempat ini. Terutama putranya.

"Aku ingin informasi itu sudah ada di meja kerjaku saat aku pulang nanti."

Kepala pengawal itu mengangguk dengan patuh. Kemudian pria Bersetelan serba hitam itu menyentuh benda kecil berwarna hitam yang ada di telinganya. Mendengarkan sejenak dan berkata pada sang Tuan. "Tuan, putra Anda mencari Anda."

Mikail menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Memutar tubuh menghadap pantulan tubuhnya di cermin dan memastikan tidak ada sedikitpun gurat amarah di garis wajahnya. "Urus ponselku," ucapnya sambil melangkah keluar dari pintu toilet. Melintasi lorong yang cukup panjang, berbelok ke kanan, kiri, dan kiri lagi. Kemudian melihat putranya yang sedang ditenangkan oleh Alicia di depan pintu ruang pribadi tempat mereka akan makan malam.

Lagi-lagi Mikail mencecar dirinya dalam hati. Karena mengabaikan putranya demi mengurus Megan. Menyumpahi pengaruh Megan yang lebih besar dari yang perlu di pedulikan.

"Papa?" Kiano berhenti merengek begitu melihat sosok Mikail yang muncul di ujung lorong. Kemudian melepaskan tangan Alicia di pundaknya dan bergegas menghambur ke arah Mikail. "Kenapa papa pergi terlalu lama?"

Mikail tersenyum. Menangkup ujung wajah sang putra dengan telapak tangannya dan berkata, "Papa sudah mengatakan papa memiliki sedikit urusan yang mendadak. Jadi kenapa jagoan papa merengek seperti bayi?"

"Kiano tidak suka tempat ini."

Kening Mikail berkerut, melirik ke arah Alicia yang hanya mengedikkan bahu. Tak tahu alasan Kiano yang mendadak rewel dengan raut yang janggal.

"Ingin makan di rumah?"

Kiano menggeleng.

"Lalu?"

"Kiano ingin makan di restoran kemarin."

Kerutan di kening Mikail semakin dalam. "Restoran kemarin malam?"

Kiano mengangguk dengan mantap, kemudian berkata, "Kiano ingin makan udang mentega di sana."

Tentu saja keinginan itu sangat janggal. Di restoran ini jelas bisa menyajikan makanan yang diinginkan oleh putranya tersebut.

Mikail masih bertanya-tanya, tetapi kemudian tarikan di ujung lengannya mengalihkan perhatiannya dan ia pun mengangguk. Meminta pengawalnya untuk mengurus hal tersebut

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang